Teror Bom, Adu Cepat, dan Jurnalisme Ludah
Pemberitaan televisi kita soal bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton dipenuhi dengan adu cepat berita serta “jurnalisme ludah” yang berisi omongan spekulatif, perbincangan konspiratif, dan pertanyaan klise yang kadang-kadang konyol.
Di antara semua stasiun televisi Indonesia, Metro TV yang paling cepat mengabarkan peristiwa peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada Jumat, 17 Juli 2009 lalu. Hari itu, sebelum pukul 08.15, Metro sudah menyiarkan bahwa ada ledakan di Hotel Ritz-Carlton. Pertama kali berita dikabarkan lewat mata acara Headline News, lalu disusul acara berita khusus bertajuk Breaking News. Sebagai televisi berita, Metro terbiasa menghadapi peristiwa-peristiwa tak biasa semacam ini dengan membuat “acara dadakan” yang durasinya panjang dan isinya khusus membahas satu peristiwa.
Ledakan di JW Marriott terjadi pada pukul 07.47, sementara di Ritz Carlton pukul 07.57. Hanya beberapa menit kemudian, saya yang berada ratusan kilometer dari Jakarta sudah menyimak kabar soal ledakan itu, meski tentu saja, belum berupa informasi yang lengkap. Kemungkinan besar Metro TV menerima kabar kilat ini dari pemirsanya. Berita-berita soal ledakan tersebut pada detik-detik awal memang hanya berupa informasi lisan yang selama beberapa menit diulang-ulang.
Presenter Breaking News, selama beberapa menit, selalu mengulang kalimat, “Pemirsa, beberapa waktu yang lalu telah terjadi ledakan di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta.” Hal semacam ini, meski agak membosankan bagi kita yang menonton, tapi merupakan laku tak terhindarkan dari sebuah organisasi berita yang ingin secepat mungkin mengabarkan sesuatu pada khalayaknya. Pada momen-momen itu, saya kira, pengetahuan para awak redaksi Metro soal ledakan tersebut tak banyak berbeda dengan para penontonnya. Jadi, memang tak ada yang bisa disiarkan selain mengulang kalimat yang sama. Jangankan gambar, informasi lebih banyak soal ledakan itu saja belum didapat.
Beberapa menit kemudian, setelah informasi lisan dari presenternya, Metro mulai menghubungi sejumlah orang yang disebut sebagai saksi mata ledakan. Beberapa orang diwawancarai secara langsung via sambungan telepon. Ini berlangsung dalam hitungan setengah jam lebih. Dan, tetap masih belum ada gambar. Informasi yang dikumpulkan—sekaligus disiarkan langsung pada kita—melalui wawancara langsung ini hanya sepotong-potong, sama sekali tidak sistematis, dan banyak terjadi pengulangan yang mubazir. Hal semacam ini terjadi karena presenter yang melakukan wawancara tidak melontarkan pertanyaan secara sistematis. Seharusnya, pertanyaan-pertanyaan dasar yang mencakup 5W+1H diajukan lebih dulu, baru dilanjutkan dengan persoalan yang lebih mendalam.
Yang sangat saya sayangkan, pada awal-awal pemberitaannya, Metro TV gagal menangkap fakta bahwa pagi itu terjadi dua ledakan di dua tempat yang berbeda. Selama setengah jam lebih, Metro hanya mengabarkan bahwa ledakan terjadi di Hotel Ritz-Carlton, sama sekali tak menyinggung nama JW Marriott. Saya yang menyimak beberapa pemberitaan di stasiun televisi lain sempat bingung: sebenarnya, ada berapa ledakan, di berapa tempat. TV One, televisi berita saingan Metro, lebih tepat menangkap fakta karena sejak awal sudah menyiarkan adanya dua ledakan: satu di JW Marriott, satu di Ritz-Carlton.
Metro TV juga memiliki “cacat akurasi” karena seorang narasumber yang diwawancarainya sempat mengatakan bahwa ledakan di Ritz-Carlton terjadi akibat genset yang meledak. Narasumber yang menyebut informasi ini seorang pekerja kantoran yang kebetulan ada di dekat tempat ledakan. Ia mengatakan, informasi soal genset yang meledak itu didengarnya dari “seorang polisi”. Presenter Breaking News Metro TV sempat menyebut informasi ini “seharusnya cukup dapat dipercaya”.
TV One memang lebih akurat, tapi sebagai televisi berita, seharusnya TV One malu karena terlambat menyiarkan berita ledakan itu selama lebih setengah jam dari Metro. Ketika Metro sudah mulai menyiarkan berita ledakan, TV One masih tenang-tenang saja dengan acara “Apa Kabar Indonesia”-nya yang membosankan itu. Saya sempat berpikir: apakah para awak TV One tak menyimak Metro, saingan terberatnya itu?
RCTI adalah stasiun televisi ketiga yang menyiarkan berita ledakan. Tapi Trans TV yang pertama kali menayangkan rekaman gambar soal peristiwa itu. Dibandingkan Metro, TV One, dan RCTI yang belum memiliki gambar dan hanya mengandalkan berita melalui wawancara langsung dengan orang-orang yang disebut sebagai “saksi mata”—sesungguhnya, kita tak tak pernah diyakinkan soal kredebilitas sumber-sumber ini—Trans TV menyajikan liputan yang lebih lengkap. Peristiwa ledakan dihadirkan secara lebih baik, dengan rekaman audio visual soal proses evakuasi korban yang mulai menarik empati kita soal dampak ledakan. Ketika Trans TV mulai menayangkan rekaman-rekamannya, stasiun televisi lain masih terus berkutat dengan wawancara telepon.
***
Lepas dari detik-detik awal kejadian, persaingan yang terjadi bukan lagi soal kecepatan. Perlombaan mendapatkan gambar, dan buru-buru memberi cap “eksklusif”, merupakan bentuk kompetisi selanjutnya yang dilakukan stasiun-stasiun televisi. Metro TV dan TV One tetap bersaing paling ngotot. Bentuk kompetisi lain adalah menghadirkan “analisis” atas peristiwa ledakan bom tersebut, terutama soal siapa yang berada di balik aksi teror itu. Dalam lomba analisis ini, secara ironis, TV One harus diberi “tropi juara satu”.
Melalui mata acara “Apa Kabar Indonesia” dan pelbagai tayangan berita dan talkshownya, TV One memang amat rajin membuat analisis. Bahkan, tema perbincangan di “Apa Kabar Indonesia Pagi” selama beberapa hari pasca-ledakan terus-terusan diberi tajuk “Analisis Peristiwa Bom”. Sayangnya, apa yang disebut sebagai “analisis” ini tak lebih dari perbincangan-perbincangan spekulatif dan kadang-kadang bahkan konspiratif. Para narasumber yang diundang kebanyakan adalah orang-orang yang secara tiba-tiba diberi atribusi-atribusi lucu, semisal “pengamat terorisme”, “pengamat intelijen”, dan “pengamat keamanan”. Parahnya, para presenter yang memandu pun kadang-ladang melontarkan pertanyaan-pertanyaan klise, diulang-ulang, dan bahkan konyol.
Saya masih ingat bagaimana seorang pembawa acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” bertanya pada Hendropriyono, Mantan Kepala BIN, berapa persen jumlah gedung di Jakarta yang sudah memiliki metal detector? Keesokan paginya, sang pembawa acara yang sama ternyata bertanya pada seorang peneliti LIPI, apa sih sebenarnya kegunaan metal detector? Pertanyaan-pertanyaan tidak cerdas semacam itu bukan sekali-dua diajukan. Orang-orang seperti Andri Jarot dan Indy Rahmawati—dua nama yang belakangan amat sering memandu “Apa Kabar Indonesia Pagi”— sering kali terjebak pada klise-klise tak berguna semacam itu.
Ketimbang melakukan penelusuran investigatif yang menghasilkan fakta-fakta, TV One memang lebih suka mengundang “para pengamat” untuk ditanyai. Bagi saya, ini sebuah kemalasan, dan kalau kecenderungan ini terus-terusan berlanjut, predikat “televisi berita” sebaiknya diganti menjadi “televisi talkshow” saja—mengingat, jumlah talkshow di TV One amat banyak juga kan? Tapi kemalasan semacam itu memang tabiat jurnalisme Indonesia yang sulit dibendung. Lebih suka menanyai narasumber, lalu menjadikan pernyataan narasumber tadi sebagai berita, itulah kemalasan yang saya maksud.
Dalam ihwal tertentu, hal tersebut sama sekali bukan masalah. Tapi dalam peristiwa semacam ledakan bom kemarin, “jurnalisme ludah” semacam itu sungguh membosankan, dan terutama sekali membingungkan. Bagaimanapun, yang dibutuhkan bukan omongan spekulatif yang kabur, konspiratif, atau bombastis. Yang dibutuhkan publik pada masa pasca-teror adalah kejernihan dan kejelasan. Pendeknya, yang dibutuhkan adalah jurnalisme dengan akurasi, bukan jurnalisme yang (hanya) dipenuhi ludah “para pengamat”.
Ketika melakukan kajian atas berita-berita Bom Bali I, Eriyanto dan Agus Sudibyo menyimpulkan bahwa kebanyakan media massa di Jakarta lebih suka mengutip komentar “para pengamat” ketimbang melakukan pencarian fakta-fakta di lapangan. Salah satu yang paling sering mengutip para komentator waku itu adalah Harian Republika. Satu penyebabnya karena kala itu fakta-fakta yang ditemukan polisi cenderung “memojokkan” citra umat Islam sehingga, sebagai harian yang memihak Islam, Republika berusaha menyajikan berita-berita dengan perspektif beda.
Mereka yang rutin membaca Republika pada masa-masa itu mungkin akan ingat bahwa harian itu berusaha mengarahkan opini tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Bom Bali I. Karena fakta penyidikan polisi tak mendukung opininya, Republika mengutip komentar-komentar dari para tokoh, yang dianggap sebagai “pengamat”, yang mendukung teori konspirasi keterlibatan Amerika Serikat. Teori konspirasi semacam itu akhirnya tenggelam dengan sendirinya, dan kini orang tahu harus menyalahkan siapa atas bom di Bali. Barangkali, kebenaran yang ditemukan jurnalisme soal Bom Bali I dan kita pegang hari ini memang bukan kesahihan yang paripurna, tapi kualitas semacam itu memang bukan tujuan jurnalisme.
Yang terjadi pada Republika tentu berbeda dengan TV One. Republika mengutip para komentator karena alasan ideologis, sementara TV One melakukannya dengan alasan yang kita tak sepenuhnya tahu. Mungkin demi bombasme, atau memang “analisis” semacam itulah yang mereka bisa tampilkan. Yang jelas, keduanya dipenuhi “jurnalisme ludah” yang tidak menyehatkan bagi publik.
Sukoharjo, 22 Juli 2009
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini
saya sering menyebutnya jurnalisme kejar tayang…
yang penting kuasai dulu beritanya…
soal akurasi, faktualitas dan aktualitas bisa menyusul sambil jalan dikoreksi…
JANGAN KAGET. IT’S FREE & TRUE
Tag: Website blog situs web homepage
Judul: Program gratis untuk pemilik website / blog
• Super Scriptor: Kumpulan kode program (script) untuk 35 jenis aplikasi yang berbasis Java. Simple. Tinggal copy paste, simpan di laman web. Kami memakainya karena terbukti fast, simple but powerful!
• Image Editor: Editor grafik untuk kutak-katik gambar, bisa disimpan dalam file GIF, JPG atau BMP, support separasi warna RGB dan CMYK. Bisa dikembangkan untuk membuat entitas usaha. Cool & simple!
• Photo Styler: Membuat koleksi foto anda menjadi lebih bervariasi. Bisa brush, cutout dan stencil (menambah teks). Bisa dikembangkan untuk membuat kartu ucapan selamat atau galeri. Fast & steady!
• Chat Watcher: Sambil browsing internet, anda bisa mengawasi page dan visitor sekaligus mengontak mereka untuk open chat. Atau sekadar memata-matai tindak-tanduk mereka tanpa disadari. Live & audio support. Great!
• Kode HTML warna: Anda tidak puas dengan kolorisasi (pilihan warna) yang ada pada homepage anda? Bisa dirubah dengan mengambil patokan dari tabel kode HTML warna, untuk tabulasi dan fontasi.
• Tag mesin pencari: Bingung homepage anda tidak muncul di mesin pencari? Pakai pembuat tag mesin pencari, kustom atas nama anda sendiri.
• Warung Web: Program ini sangat sederhana dan mudah di-install, tak perlu database server (SQL), berbahasa Java, easy to customize. Tinggal ganti teks dan gambar. Fast & easy!
• Chess Star: Banyak orang bisa main catur. Kenapa tidak sediakan fasilitas catur di website anda untuk menambah tingkat kunjungan. Manual mudah dipahami, cute & simple!
• Iklan Baris: Ingin menjadikan website anda portal iklanbaris? Pasang program ini. Tersedia dalam dua model script, basic & medium. Pilih sesuai skill anda. Cool & friendly!
• And more…
Catatan: Fasilitas di atas hanya untuk anggota Persbiro SiteMasters Club (PSC). Untuk bisa mendapatkannya, Anda harus harus lebih dulu bergabung dengan PSC.
lanjut: http://www.persbiro.com
Tag: Desain logo banner kartu e-card brosur
Judul: Sentra desain: cepat, tepat & kilat
• Bikin Logo: Mendesain berbagai macam logo, generik dan eksklusif untuk bisnis atau klub.
• Pesan Banner: Mendesain banner untuk website dan bisa di-blowup untuk banner outdoor.
• Desain Kartu: Mendesain bermacam kartu, juga bisa dipakai untuk e-card.
• Rancang Brosur: Mendesain brosur, flyer dan promo items lain untuk event tertentu.
lanjut: http://www.persbiro.com
Tag: Bikin desain situs toko online development domain
Judul: Web design & development: fast, friendly & functional
• Brochure Web: Menjadikan website sebagai brosur elektronik atau digital flyer. Detil produk dan jasa digelar di sini, selain company profile.
• Kios Online: Brosur web yang dilengkapi dengan daftar harga, keranjang belanja (shopping cart) dan konfirmasi pembayaran.
• Portal Dinamis: Segala macam fitur web (CMS) bisa dimuat di sini mulai dari news, forum, iklan baris, chatting, AV, member register & log.
• Dotcom Blog: Blog dengan domain sendiri (www.anda.com). Seting bisa langsung hosting server atau via blog gratisan yang ada.
• Bomber Mailer: Hari gini kirim email masih terhalang spam filter? Program ini, sekali klik langsung kirim ratusan bahkan ribuan address. Tersedia 2 model, direct & proxy. Amazing!
lanjut: http://www.persbiro.com
Dukung industri kreatif Indonesia, cintai produksi dalam negeri
(Forward ke kerabat dan sahabat / simpan jika sewaktu2 perlu)
kadang-kadang sumber resmi cenderung hati-hati, dan dipercaya tak menyebarkan informasi seluasnya. kecepatan dan akurasi memang dua hal yang kadang saling menegasikan. cepat tapi tidak akurat, atau akurat tetapi tidak cepat.
senadainya, hanya seandainya mas haris menjadi salah atu awak media itu, entah Metro TV, RCTI, Trans TV, atau TV One, tentu lain ceritanya.
saya percaya cepat, dan akurat menjadi sebuah keniscayaan
TV One terlambat karena harus mengumpulkan fakta dulu, kan ga lucu juga kalo mau nyamain jam tayang Metro tapi infonya juga "kelas genset".
TV One nuansa jurnalismenya lebih unggul karena di sana ada Karni Ilyas yang berpengalaman di Liputan Enam. Tapi secara keseluruhan sih dua-duanya masih punya banyak kelemahan kok, namanya juga cuma berdua (yg level nasional) 😀
Barangkali bisa sedikit dibandingkan dengan nulis di blog…kalau mau sumber dan datanya akurat…analisa yang komplit ..mungkin sedikit lebih lama pengerjaannya….kalau dihasilkan dengan buru-buru..ya barangkali memang segitulah kualitasnya….apalagi kalo si pembawa acaranya memang gak ganti2…itu2 aja orangnya….
yang jelas kalo tayangannya live memang cukup ribet mas…
Semuanya memang berjalan terlalu cepat euy.
@suryaden : siaran langsung berarti wis direncana.
nek ngunu sing ngebom wis ngontak wartawan untk diliput ben melbu tipi…
tp apik kuwi idemu live show bomb…
wah, baru dengar ada istilah jurnalisme ludah. mas haris memang paling bisa bikin idiom2 kontempoter, hehe … kalau menurut saya, stasiun TV sdh masuk dalam cengekraman kaum kapitalis, mas, sehingga lebih mengejar berita instan, tanpa kedalaman materi pemberitaan.
nice post…seneng bacanya.
seneng aku postingan kendel koyo ngene, ra kakeyan mbulet!
tipi Indonesia = jukebox!
karena bom malah dapat rejeki jadinya?
Yach, begitulah kondisi jurnalisme di negara kita
jurnalisme ida-idu seperti itu yang selalu membuat orang semacam roy suryo selalu laku… yeach… namanya juga orang jualan mas!
susah juga mensejajarkan kecepatan dan ketepatan berita,,, dirimu maw nyoba membuat berita yang berkualitas dari metro tv,tv one, sctv, rcti, dlll??? segitulah yg baru mampu mereka buat… masukan yang bagus buat mereka,,, kirim aj kritik dan saran ke redaKSI mereka2…
tak salah dan itulah faktanya. dan situasi semacam ini akan selalu berulang. Kecepatan dalam menginformasikan berita,apalagi berita besar, punya hukum fardhu dalam telepisi berita. analoginya bisa pertempuran antara detik.com, kompas.com,vivanews.com,atau okezone. sayang memang banyak yang keblinger. itulah realitas industri ini mas
kita tak pernah lepas dari latar belakang kita sendiri. ketika Anda menulis ini, sebenarnya anda tengah menulis realita dalam perspektif Anda sendiri. sama dengan media massa yang Anda komentari.
oleh karena itulah, kebenaran menjadi relatif… dalam kondisi seperti ini.
media memang kadang sedikit melebihkan, tp media juga berjasa menyebarkan informasi