Asyik-Santai Desakralisasi Sastra Jawa
Apa sebenarnya yang menyebabkan sastra Jawa modern tinggal di dalam ruang yang sepi? Benarkah hanya disebabkan oleh globalisasi yang makin menggeruskan kebudayaan dan bentuk-bentuk seni lokal? Ataukah justru penyebabnya adalah masalah internal yang terjadi di dalam kalangan sastra Jawa sendiri? Bagaimana pula mengeluarkan sastra Jawa dari kesepian yang selama ini menghinggapinya?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dijawab dalam Diskusi “Disorientasi Sastra Jawa Gagrak Anyar” di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, pada 7 November 2009 lalu. Berbarengan dengan peluncuran Buku Antologi Sastra Jawa Senthong 2, diskusi itu mencoba melakukan identifikasi atas persoalan-persoalan yang menghinggapi sastra Jawa sekaligus mencari jalan keluarnya.
Siti Aminah, penulis novel berbahasa Jawa Singkar yang malam itu menjadi salah seorang pembicara, mengidentifikasi persoalan yang timbul dalam relasi antara sastra Jawa dengan kaum muda. Menurut Aminah, salah satu persoalan terpenting yang sekarang dialami sastra Jawa adalah susahnya regenerasi. Meskipun pemerintah telah kembali memutuskan bahasa dan sastra Jawa menjadi salah satu bahan ajar wajib di sekolah, nyatanya tak banyak kaum muda yang benar-benar terpikat dengan sastra Jawa.
Sejumlah sanggar yang menjadi pusat akivitas sastra Jawa di pelbagai kota masih sangat kesulitan menarik anak-anak muda untuk mau terlibat dalam kegiatan sastra Jawa. Persoalan ini tak sepenuhnya merupakan kesalahan para pemuda yang tak lagi tertarik pada warisan kesenian tradisi. Aminah mengatakan, para pegiat sastra Jawa yang sudah sepuh dan berpengalaman juga memiliki andil terhadap susahnya regenerasi ini. Selama ini banyak pegiat sastra Jawa yang sudah senior kurang bisa menerima gagasan dan cara ungkap kaum muda yang ingin belajar sastra Jawa.
Menurut Aminah, sejumlah redaktur majalah berbahasa Jawa menganggap karya-karya para penulis muda ini tak layak diterbitkan karena kualitasnya masih jelek. Perbedaan selera estetika antara para redaktur dengan para penulis muda sastra Jawa mengakibatkan karya penulis pemula susah mendapatkan tempat sehingga mereka telah layu jauh-jauh hari sebelum sempat mekar. Meski sebagaian dari para penulis muda itu kemudian mencoba membuat media independen, secara umum kuantitas kaum muda yang benar-benar tertarik pada sastra Jawa dan kemudian aktif menulis masih teramat sedikit.
***
Supaya sastra Jawa bisa adaptif dengan perkembangan zaman, Aminah mengusulkan adanya perubahan dalam cara kita memandang makna “nguri-uri”. Nguri-nguri tidak lagi harus diartikan sebagai menjaga kelestarian sebuah entitas secara sama persis dengan masa lampau, tapi menjaga eksistensi entitas itu sambil sekaligus mengupayakan perubahan terhadapnya.
Sucipto Hadi Purnomo, dosen sastra Jawa Universitas Negeri Semarang yang juga menjadi pembicara, sepakat bahwa kebanyakan pegiat sastra Jawa salah dalam memandang konsep nguri-uri. Kebanyakan aktivis kebudayaan Jawa sekarang menganggap warisan kebudayaan dari generasi lampau sebagai sebuah “hasil jadi” yang telah mencapai status kanonik sehingga warisan itu harus dilestarikan tanpa ruang perubahan. Romantisme semacam ini bukan hanya berdampak buruk tapi juga salah secara ontologis. Sebab, warisan dari para pujangga Jawa masa lampau, bila ditilik secara kritis, bukanlah “hasil jadi” yang sudah selesai. Semua karya itu masih berada dalam “proses menjadi” sehingga perubahan bukanlah benda haram yang mesti dijauhi.
Dalam hal melakukan perubahan terhadap sastra Jawa, esais Bandung Mawardi punya konsep yang sangat radikal. Saat menanggapi uraian Aminah dan Sucipto dalam diskusi peluncuran Senthong 2, Bandung mengusulkan adanya desakralisasi terhadap sastra Jawa. Ia mengatakan, sastra Jawa tidak harus dilihat sebagai produk kebudayaan adiluhung yang angker untuk didekati dengan pelbagai cara. Sebagian orang mungkin memiliki pandangan bahwa sastra Jawa itu sebentuk kesenian dengan pakem-pakem yang baku. Para pegiat sastra Jawa—demi menjaga otoritasnya—menjadikan pakem-pakem itu sebagai sesuatu yang sakral.
Elitisme sastra Jawa, kata Bandung, misalnya, bisa dilihat dari nama-nama majalah sastra Jawa yang selalu memakai kata-kata yang sok berfilsafat dan terkesan “tinggi”. Pemakaian kata-kata yang “melangit” itu bisa jadi merupakan salah satu sebab kenapa sastra Jawa kini tinggal di ruang yang kesepian. Sebagai gugatan, Bandung bahkan akan mendirikan jurnal sastra Jawa yang dinamai Jurnal Tempe Bosok. Nama tempe bosok sengaja dipilih karena familiar dengan keseharian masyarakat Jawa—jadi, pemilihan nama ini sejatinya menyimbolkan produk sastra Jawa seharusnya dekat dengan masyarakat.
Bandung juga menolak anggapan bahwa sastra Jawa hanya mencakup karya sastra yang menggunakan bahasa Jawa karena muatan kultural seharusnya tak dibatasi oleh masalah teknis kebahasaan. Sekalipun memakai bahasa Indonesia, bila sebuah karya bermuatan kultur Jawa, maka ia dapat disebut sastra Jawa.
Menurut saya, meski terkesan kontroversial, pandangan-pandangan Bandung seharusnya tidak serta merta ditolak. Kondisi sastra Jawa sudah sedemikian mengkhawatirkan sehingga dibutuhkan upaya-upaya radikal yang bisa menyalurkan perubahan secara drastis. Desakralisasi sastra Jawa, bagi saya, mutlak dibutuhkan supaya anak-anak muda yang sempat tertarik dengan sastra Jawa tidak segera pergi karena merasa disepelekan dan terus-menerus direndahkan oleh generasi sepuh. Dibaca dalam konteks yang lebih gaul, saya menganggap tawaran desakralisasi itu sebagai ajakan untuk mendekati sastra Jawa dengan rileks dan tanpa beban. Sudah saatnya menganggap sastra Jawa bukan sebagai entitas kesenian yang angker dan sakral. Jadi, mari bersastra Jawa dengan asyik dan santai!
Haris Firdaus
ps: tulisan ini pernah dimuat di Harian Suara Merdeka, 15 Nopember 2009.
gambar diambil dari sini
memang yang namanya perubahan aakn slalu mengalir
tinggal bagaimana semuanya mengikuti aliran itu
jaga saripatinya…
kembangkan sayapnya… mungkin gitu
i love java
waduh, bahasannya berat nih… sy gak ngerti sastra …
numpang lewat aja ya …
saya selalu saja tak bisa melepaskan geliat romantisme kultural ketika baca teks2 sastra jawa, mas haris. ada idiom2 tertentu yang menuntun saya utk melihat eksotisme sastra jawa yang tdk saya temukan dalam teks sastra berbahasa lain.
dan saking indah dan dalamnya setiap kata dalam kasustraan jawa, sampai-sampai susah untuk mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia…
nguri nguri,
menjaga kelestarian bukan berarti harus stagnan, tetapi malah harus tetap berkembang….
Jangankan mengembangkan ‘sastra jawa’, pemahaman bahasa jawa sendiri di kalangan anak muda asli jawa sudah sangat minim.
Menurut pengalaman saya, Salah satu penyebabx adalah kurangnya pembudayaan penggunaan bahasa jawa dalam keluarga itu sendiri.
Orang tua sebenarx turut berperan aktif dalam melestarikan bahasa jawa dalam keluarga, sebelum masuk dalam ruang lingkup masyarakat. . .
Wew.. pantes tulisannya bagus, ternyata pernah dimuat di koran.
Salut! Senang kenalan dengan penulis serius seperti Anda!
seperti saya orang jawa yang tidak memahami sastra jawa ….
saya orang jawa tapi jawa barat heehe
salam,
Bukannya sebaliknya ya? Sekarang orang mulai “menyakralkan” sastra jawa demi “mendulang rupiah”.
Wah ada wilayah abu2 juga soal ini yah, saya pikir sastra klasik semacam ini cuma berujung pada dikotomi sastra pop dan sastra klasik.
Saya pikir kita memang mesti dobrak hegemoni sastra wangi versi orang2 dulu yang ngga mau digeser di wilayah ‘sastrawan’ sana.
saya sendiri belum bisa seluruhnya memahami tentang sastra jawa meski saya sendiri orang jawa hiks 😉
pengen nulis pake bahasa jawa diriku
sebagai orang Solo.. hmmm aku sangat mendukung sastra Jawa seperti ini.. tapi dimana yah cari buku2 kayak gitu?? btw, salam kenal yah..
Kalau untuk saya sendiri, jangankan sampai ke estetika, lha wong kosakata Jawa saya saja cupet — itu pun untuk yang ngoko. Tuturan Jawa saya sangat nanggung, bercampur dengan bahasa Indonesia. Bahkan ketika mencoba menulis dalam bahasa Jawa, tuturan saya seperti sekadar menjawakan teks Indonesia. Di sisi lain ketika menulis dalam bahasa Indonesia, tuturan saya berbau Jawa. 😀
hanya mampu mampir…….
Wah salut sama yang perhatian dengan kesusastraan daerahnya.. Semangat yak 😀
Saya lebih baik nyerah kalau sudah ngomongin masalah sastra.
ampun dah….., aku gak ngerti babar blas masalah sastra…., hanya mampu menikmati kalo disuguhkan saja….
Selamat Hari Raya Idul Adha 1430 Hijriah
sama nih… gak ngerti sastra, kalo komik asik tuh…
kalo harry potter aq ngerti nih…
tak perlu merubah nama menjadi tempe bosok. tidak familiarnya sastra jawa di masyarakat karena memang masyarakat tak pernah ikut2an dalam sastra jawa.
salah satu upaya saya untuk ikut nguri2 bahasa jawa, saya berlangganan PS, mengoleksi novel jawa salah satunya karangan Pak Suparto Brata
cuma yg saya tak mengerti itu bahasa kawi atau bahasa jawa kuno
Wah, jadi inget di rumah saya dulu langganan ‘penjebar semangat’. Sampai-sampai tersimpan penuh satu lemari. Tapi, sayangnya, keluarga memutuskan menghentikan langganan koran jawa ini. Dengan suatu alasan….
-jbs-
bahasa jawa terasa terasingkan
banyak anak muda belepotan ketika menggunakan bahasa jawa
walaupun dia merupakan orang jawa