Lelaki-lelaki Ayu Utami
Sejak menerbitkan novel pertamanya yang berjudul Saman, Ayu Utami selalu dianggap sebagai penulis yang identik dengan kisah-kisah mengenai perempuan. Saman, yang kemudian disusul Larung, seringkali dirayakan sebagai titik penting dalam perkembangan karya sastra yang mengangkat cerita berkait perempuan dan seksualitas—istilah “sastra wangi” yang luar biasa rancu itu, saya kira, muncul dari pemikiran semacam itu.
Yang mungkin dilupakan adalah bahwa Ayu tidak hanya berkisah soal perempuan, tapi juga tentang laki-laki. Bahkan, dua novel awalnya—yang ironisnya selalu dianggap sebagai novel mengenai perempuan—ternyata diberi judul dengan mengambil tokoh laki-laki dalam novel tersebut. Ya, meskipun kita sangat menikmati petualangan seks empat serangkai perempuan dalam Saman dan Larung, dua novel itu justru mengambil judul dari nama lelaki yang ada dalam novel.
Benar bahwa dalam dua novel perdana itu kisah mengenai perempuan (dan seksualitas) sangat menonjol—terutama dalam Saman—namun sesungguhnya keduanya tidak steril dari kisah soal laki-laki. Di dalam novel ketiga Ayu, Bilangan Fu, perspektif laki-laki jelas lebih menonjol dibandingkan perempuan. Dua tokoh utama Bilangan Fu adalah Sandi Yuda dan Parang Jati—keduanya laki-laki. Tokoh perempuan bernama Marja dalam Bilangan Fu hanya tampil sekilas dan lamat-lamat.
Dalam novel keempat Ayu yang terbit Juni 2010 lalu, Manjali dan Cakrabirawa, kita akan menemukan kisah mengenai laki-laki secara lebih jelas dan tegas. Jika Bilangan Fu lebih banyak bercerita soal pergulatan spiritual—yang sebenarnya membosankan itu—Manjali dan Cakrabirawa memberi porsi yang lebih pada hubungan laki-laki dengan perempuan. Dengan cara sedemikian rupa, hubungan itu akan lebih banyak berkisah soal lelaki.
Manjali dan Cakrabirawa adalah karya perdana dari sebuah seri yang disebut sebagai “Seri Bilangan Fu”. Ini adalah sebuah seri novel yang masih berkaitan dengan Novel Bilangan Fu. Novel-novel yang masuk dalam seri ini akan menghadirkan Marja, Sandi Yuda, dan Parang Jati—tiga tokoh dalam Bilangan Fu—sebagai tokoh utama. Dalam Manjali dan Cakrabirawa, porsi dominan diberikan pada Marja.
Manjali dan Cakrabirawa menghadirkan kisah cinta segitiga antara Marja, Sandi Yuda, dan Parang Jati. Mereka yang sudah membaca Bilangan Fu pasti tahu bahwa Marja adalah pacar Yuda dan Jati merupakan sahabat mereka berdua. Jika dalam Bilangan Fu cinta segituga antar-mereka tak terlalu tampak meski sudah kelihatan bibitnya, dalam Manjali dan Cakrbirawa, cinta semacam itu menjadi sangat dominan.
Alkisah, karena suatu alasan, Marja dititpkan Yuda di rumah Parang Jati selama beberapa hari. Marja dan Parang Jati akan bersama selama beberapa waktu, dan dalam kebersamaan itulah keduanya mulai dijangkiti bibit-bibit asmara. Ah, bahkan sejak pertemuan mereka di stasiun tempat Yuda mengantar Marja bertemu Parang Jati pun, benih asmara itu sudah kelihatan di hati Marja. Dengan bahasa hiperbolis yang untungnya masih terasa enak, Ayu menggambarkan bagaimana Marja terpesona pada mata Parang Jati yang bak “mata malaikat” atau bak “bidadari jatuh ke bumi”.
Untuk beberapa waktu, Jati dan Marja akan bertualang bersama seorang pria Prancis bernama Jacques untuk meneliti sebuah candi baru yang ada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Petualangan meneliti candi ini merupakan sebuah kisah tersendiri yang dipenuhi teka-teki. Meski lumayan berhasil meracik teka-teki yang dibumbui pengetahuan sejarah, kebudayaan, dan arkeologi, teka-teki Ayu sebenarnya belumlah terlalu kompleks dan tak membuat kita berdecak kagum lama-lama. Dibandingkan Negara Kelima-nya Es Ito, misalnya, Manjali dan Cakrabirawa jauh lebih sederhana dalam menghambur-hamburkan teka-teki.
Tapi, baiklah, mari kita lupakan teka-teki itu. Mari balik ke Marja dan dua prianya. Secara agak sembrono dan bercanda, saya ingin mengatakan bahwa kisah cinta segitiga Marja-Yuda-Jati itu sebenarnya tak jauh beda dengan kisah Bella-Edward Cullen-Jacob si Srigala dalam seri novel Twilight-nya Stephenie Meyer. Bedanya, Manjali dan Cakrabirawa agak lebih berbobot dan sastrawi.
Namun, problem intinya adalah sama: Marja yang sedang jauh dari Yuda mulai merasa bahwa Jati adalah lelaki yang menarik dan juga, memakai bahasa Ayu Utama, “sedap”. Ia merasa sangat terlindungi saat bersama Jati, merasa bahwa lelaki itu cerdas, bijaksana, dan sopan. Lalu, modus yang umum terdapat dalam kisah cinta segitiga pun berlanjut: Marja mulai membandingkan Jati dengan Yuda. Dalam proses pembandingan inilah kentara sekali bagaimana Manjali dan Cakrabirawa adalah sebuah novel tentang laki-laki.
Dalam sebuah kesempatan saat ia tidur dalam satu tenda dengan Jati, Marja mulai menyadari bahwa sahabatnya itu sangat berbeda dengan Yuda. Jati adalah seorang pemuda yang tumbuh besar di sebuah padepokan spiritual di suatu desa, ia hidup dengan lautan ilmu dan kebijaksanaan. Jati seorang kutu buku, pemalu, dan sangat sopan. Pemuda itu memiliki jari berjumlah 12 di tangannya dan mempunyai semacam kesadaran spiritual yang sangat dewasa.
Sementara, Yuda adalah seorang lelaki kota yang bengal dan suka berjudi. Ia tak pernah kuliah gara-gara menyenangi panjat tebing. Ia seorang pemuda dangkal yang tak suka berpikir. Ia juga bukan kutu buku.
Dari sifat-sifat semacam itu saja, sudah terlihat beda antara Yuda dengan Jati. Tapi jangan menyangka Marja tak bahagia dengan Yuda. Meski bengal, Yuda mencintai Marja, demikian sebaliknya. Mereka saling mencintai dan persahabatan keduanya dengan Jati dulu berjalan dalam keseimbangan.
Perbedaan utama Yuda dan Jati menurut Marja bukan hanya dalam soal sifat-sifat dasar itu saja. Dalam hal persetubuhan di ranjang, Marja juga mengangankan keduanya punya gaya yang beda. Ya, ingat, ini novel Ayu Utami—dan dalam novel Ayu, jangan pernah berharap tak ada kisah soal persetubuhan. Dalam pembandingan tentang hal ini, sebaiknya saya langsung kutipkan saja dari novelnya:
“Tapi ia Yuda tahu bahwa ia [Marja] adalah kucing liar di tempat tidur. Permainannya dengan Yuda adalah senantiasa penaklukkan. Mereka adalah musuh yang menggairahkan bagi yang lain. Jika bukan Yuda menaklukkan dia, maka dia menaklukkan Yuda. Jika bukan Yuda memperkosa ia, maka dialah yang memperkuda Yuda. Jika bukan Yuda, maka ia yang menampar dan meludah pada wajahnya saat mereka bergelut. Fantasi agresif demikian sudah menjadi bagian yang wajar dalam hubungannya dengan Yuda.”
Sementara soal Parang Jati, Marja berangan-angan semacam ini:
“Tapi malam ini ia membayangkan kecupan lembut pada dahinya dari Parang Jati. Ucapan selamat malam yang meruntuhkan tanggul pertahanan. Ia inginkan ciuman panjang tanpa gigitan. Pelukan yang erat dan embun yang haru pada mata. Dua tubuh telanjang tanpa jarak pandang, sebab jarak pandang membuat tubuh menjelma obyek bagi yang lain. Ia inginkan persatuan yang dalam dan sederhana. Ia ingin ejakulasi yang biarlah rahasia.”
Ya ini soal bagaimana persetubuhan dijalankan. Dan Marja sebenarnya tak keberatan dengan dua gaya persetubuhan yang beda amat jauh itu. Ia, mungkin, hanya butuh variasi dan kejutan. Dan, dua pria yang diametral bedanya itu akan memberinya variasi.
Akan tetapi, dibalik perbedaan diametral itu, Yuda dan Jati punya kesamaan. Inilah kata-kata Marja tentang kesamaan keduanya: “… keduanya sama bertubuh pejal, sama tabah menanggung siksaan tebing, dan sama tulus.” Ya, jika Marja memang menghadapi dua lelaki yang berbeda karakter tapi sama-sama tulus dan memiliki tubuh bagus: lengan kekar, dada bidang, dan perut kotak-kotak—maka itu jelas siksaan bagi dia jika harus memilih di antara keduanya.
Dibandingkan seri Twilight—ya, saya tahu sebenarnya perbandingan ini bodoh—Manjali dan Cakrabirawa lebih subtil dan dalam menghadirkan cinta segitiga. Kita akan sedikit tegang mengikuti kisah Marja—siapakah akhirnya yang benar-benar ia cintai; apakah dia akan bersetubuh dengan Jati; apakah cintanya pada Jati akan ketahuan oleh Yuda; akankah Marja bisa mencintai Yuda kembali seperti sebelumnya; dan lain sebagainya.
Itu semua memang pertanyaan standar yang tak layak diajukan untuk sebuah novel yang benar-benar bagus. Sayangnya, Manjali dan Cakrabirawa bukanlah novel yang benar-benar bagus. Ayu Utami harusnya membuang kecenderungannya untuk berceramah—yang muncul sejak Bilangan Fu tapi tak ada dalam Saman serta Larung. Pelajaran sejarah soal G30S PKI yang lebay dalam novel ini juga hanya cocok untuk gadis seperti Marja: seorang gadis kota berumur 19 tahun yang tak tahu ada versi lain sejarah G30S kecuali versi Orde Baru.
Pendeknya, jika Anda menyukai Twilight dan novel-novel lanjutannya, Anda mungkin akan senang membaca Manjali dan Cakrabirawa. Dibandingkan Bella, Marja mungkin satu setrip lebih baik. Tapi jika Anda membaca novel ini dengan harapan Ayu akan menghasilkan karya yang sebagus Saman, saya kira, Anda akan kecewa.
Jakarta, 18 Juli 2010
Haris Firdaus
Wah kowe cepet tenan wis baca! Aku malah belum punya, Ris.. Pinjamkan! haha..
Sepertinya teka-teki memang bukan jadi yang utama dalam novel ini, Ris. Teka-teki adalah misinya. Setidaknya nggak penuh kekacauan sejarah seperti dalam novel Es Ito, yang menurut JJ Rizal nyaris salah semua fakta-fakta sejarah tempatnya berpijak.
Untuk novel ceramah, ada yang pernah bilang kalau sastra Ayu adalah sastra ide, dan setahu gue memang Ayu membuat novel ini untuk pembaca remaja, dan seperti layaknya trik-trik fiksi–juga dalam film–bagian ceramah selalu disamarkan dengan menghadirkan karakter yang tidak tahu, yang layak diceramahi, membuat penulis bisa berkelit, kalo dalam hal ini, Parang Jati yang berceramah kepada Marja. Hehe. Tapi itulah memang jebakannya, di satu sisi novel harus informatif juga–apalagi mengingat bagaimana jadinya kalau novel2 yang terkait sejarah dibaca puluhan tahun kemudian–tapi juga gimana itu menyatu dengan cerita dan tidak berlebihan. Buatku novel ini cukup. Menyenangkan membacanya, dan tentu sensasinya lain dengan sewaktu membaca Saman:)
Saya baru baca yang Manjali dan Cakrabirawa, hadiah dari seorang kawan yang baru pulang dari kota besar, dua minggu lalu. setidaknya tulisan-tulisan itu yang akan menemani saya nanti di belantara.
Belum baca karyanya…..
aku berharap bisa menikmatinya seperti kala membaca saman saat itu. walau, maaf, larung tak cukup kuat membuatku menyelesaikan sampai habis. namun kisah marja, sepertinya akan menarik, karena yang masih lekat kuingat tentang saman adalah kisah cinta dari 4 tokoh di sana…
oya, kembali kupertanyakan, kenapa perbandingannya dengan twilight? (rasanya tetap tak iklas) padahal banyak sekali kisah cinta segitiga yang kupikir lebih mendekati cerita marja itu. sepertinya kamu sedang terganggu dengan twilight karena akhir2 ini kulihat di status2 fb-mu ada kecenderungan kesana… ;P
aku udah baca,
saya malah belum pernah baca novel sampe habis..
waaa ada bersetubuh-bersetubuh hahahihi
baca ahhh
nuwun reviewnya, mas, keren 😀
ya setuju, ayu makin kurang serius nulis
menarik untuk dibaca….
thanx for good post and article.