Bersiaga di Jalan Jakarta
Pada mulanya, saya ingin optimis dengan jalanan Jakarta. Tapi sesudah banyak perempuan diperkosa di mikrolet dan dicabuli di Trans Jakarta, setelah banyak orang dirampok atau dicopet di Kopaja atau Metromini, dan sesudah Xenia Maut yang dikendarai perempuan gendut itu menewaskan sembilan orang, saya tahu alasan untuk optimis itu hampir-hampir habis.
Akhirnya, kita memang harus menerima kesimpulan bahwa jalanan Jakarta itu berbahaya dan kita semua harus siap dengan itu. Sebenarnya, semua orang pernah mendengar cerita soal betapa berbahayanya Jakarta dan citra Jakarta sendiri selalu punya dua wajah yang bertolak belakang: di satu sisi gemerlap dan menyenangkan, tapi di sisi lainnya muram dan menakutkan. Semua orang sudah tahu itu, bahkan mereka yang belum sekalipun mengunjungi Jakarta paham betul soal ini.
Saya punya banyak kawan di Solo yang selalu memandang Jakarta dengan gentar: macet, panas, penuh polusi, dan rawan kriminalitas. Mereka pada akhirnya tak berminat sama sekali hidup di kota ini. Dalam begitu banyak literatur, di buku, koran, majalah, atau film, citra soal Jakarta yang angker ini diteguhkan dan terus-menerus dikembangkan sampai hampir-hampir mencapai taraf yang imajinatif. Karenanya, kadang-kadang, kegentaran yang ditimbulkan akibat citra angker itu juga berlebihan.
Dua tahun lalu, saya tertawa saat seorang kawan yang lahir dan besar di Jakarta berkisah bagaimana berbahayanya jalanan di Jakarta. Saya merasa lucu mendengar itu karena heran: kenapa orang yang sudah 20 tahun lebih tinggal di Jakarta masih juga paranoid terhadap ibukota dan belum juga merasa nyaman menyusuri jalanan di sana. Tapi, setelah semua kejahatan dan kengerian yang terjadi akhir-akhir ini, saya akhirnya bisa menerima paranoia tersebut dan menganggapnya sebagai bagian yang tak terpisahkan untuk mereka yang hidup di Jakarta.
Bila Jakarta itu berbahaya dan Anda masih ingin hidup di sana dengan alasan apapun, maka tak ada pilihan lain: Anda harus bersiaga. Sebagai wartawan, saya ditakdirkan untuk berkawan dengan jalanan. Hampir tiap hari saya berkeliaran di jalan, pergi dari satu tempat ke tempat lain. Selama dua bulan pertama, saya masih liputan dengan angkutan umum.
Sebagai orang yang tak pernah tinggal di Jakarta, saya akhirnya harus bersusah payah sebelum liputan: mencari alamat tempat yang akan saya kunjungi, lalu mencari-cari rute angkutan umum supaya sampai ke sana. Saya tersesat berkali-kali tentu saja, tapi dari pengalaman dua bulan inilah saya mulai menghafal jalanan Jakarta, juga memahami kegilaan-kegilaannya.
Suatu saat di KRL Ekonomi jurusan Bogor-Jakarta, saya pernah melihat bagaimana seorang penjambret beraksi. Di suatu stasiun yang saya lupa namanya, si penjambret dan satu kawannya merapat ke pintu KRL yang terus terbuka. Saat KRL berhenti di stasiun, mereka tak turun. Tapi begitu kereta berjalan pelan-pelan, mereka tiba-tiba saja melompat.
Awalnya saya yang melihat aksi itu menganggapnya hanya sebagai aksi gagah-gagahan lompat dari kereta yang berjalan. Tapi seorang bapak di samping saya ternyata lebih tanggap. “Maling,” katanya. Semua penumpang kaget dan sekian menit sesudah itu seorang ibu yang duduk di dekat pintu meraba lehernya dan menemukan kalungnya sudah raib. Dia lalu menangis. Sementara kereta terus berjalan dan tak bisa dihentikan sehingga si penjambret pun lolos.
Begitulah Jakarta. Kejahatan berlangsung cepat dan tak ada keadilan yang bisa ditegakkan. Korban hanya bisa menerima dan bersedih. Oleh karena itu, saat berada di jalanan Jakarta, sikap waspada sangat dibutuhkan.
Sejak awal naik angkutan umum di Jakarta, sikap siaga saya otomatis terbentuk. Saya tak pernah menaruh dompet di kantong belakang celana—seperti yang selalu lakukan biasanya. Biasanya, sebelum naik angkot, Kopaja, atau Metromini, saya selalu menyiapkan uang pas, mengambilnya dari dompet, dan meletakkannya di saku samping celana. Saya memindahkan dompet, juga handphone, dari kantong celana ke tas. Saya pastikan telah menutup tas saya rapat-rapat, lalu menaruh tas ransel saya di bagian depan, menempel ke dada, bukan menempel di punggung seperti biasanya.
Di Solo, kota tempat saya tinggal dulu, saat naik bis kota, saya nyaris tak sesiap-siaga itu. Dan saya begitu rileks saat duduk di angkutan umum di Solo. Tapi di Jakarta, naik Trans Jakarta saja bisa jadi pengalaman yang menegangkan. Bahkan di angkutan umum yang “relatif nyaman” di Jakarta, ketakutan tetap tak terhindarkan.
Kawan saya, Ardi Yunanto, pernah melakukan observasi selama satu tahun di atas bus patas AC di Jakarta dan hasilnya menunjukkan bahwa di atas angkutan umum yang relatif nyaman itu saja para penumpang masih merasa cemas dan takut. Ketakutan itu terjadi karena hal yang sebenarnya bisa dianggap sepele: tentang di mana kita mesti duduk. Salah satu penumpang yang paling cemas soal pilihan duduk ini adalah perempuan, terutama yang muda.
Perempuan muda ini, kata Ardi, biasanya akan memilih sesama perempuan sebagai teman duduk, atau kalaupun akhirnya mesti duduk dengan pria, mereka akan memilih duduk di kursi di dekat jalan. Bila mereka duduk di dekat jendela atau di kursi tengah, mereka akan ketakutan bila saat mereka turun dan harus melewati pria di samping, mereka akan diusili.
Begitulah, semua angkutan umum mempunyai rasa cemas dan ketakutannya sendiri dan ini melengkapi horor lain di jalanan Jakarta: perbaikan gorong-gorong yang bisa menyebabkan kecelakaan, banjir, ranjau paku, atau pohon tumbang dan papan reklame ambruk yang bisa menimpa siapa saja.
Dengan semua masalah itu, secara sadar atau tidak, mereka yang berada di jalanan Jakarta harus bersiap siaga. Kawan saya lain, Deasy Elsara, misalnya, mengisahkan bagaimana dia mesti melindungi diri di jalanan. Dalam cerita panjang di blognya, Sara mengaku selalu membawa benda-benda yang bisa melindungi dirinya, seperti pensil mekanik, bolpen, penggaris besi, cutter, pisau lipat, atau alat kikir. Sara juga merekomendasikan alat setrum dan cat semprot sebagai alat yang efektif untuk melindungi diri.
Sesudah membaca tulisan Sara, saya makin sadar bahwa kita semua harus siap siaga di jalanan Jakarta. Tapi, soal lain yang mesti diingat adalah: siap siaga tak berarti sama dengan kecurigaan dan ketakutan yang berlebihan. Menyadari bahwa jalanan Jakarta berbahaya tak boleh membuat kita takut dan bercuriga pada semua hal, tapi justru harus membuat kita menyiapkan semua hal supaya kita bisa aman. Muara akhir dari kesiap-siagaan itu, menurut saya, adalah sikap berani, bukan ketakutan.
Sikap lain yang juga saya pegang adalah jangan sampai karena ketakutan itu kita bercuriga pada semua orang. Tulisan Evi Mariani Sofian yang berjudul “Keluh-kasih jalanan Jakarta“ dengan baik menunjukkan bahwa ada banyak kasih sayang tak terduga di Jakarta. Selama di Jakarta, saya juga banyak menemukan kejadian menarik dan indah yang mungkin tak akan saya temukan jika kita bercuriga pada semua hal—seperti kejadian di Bundaran HI atau pengalaman saya berbuka puasa di sejumlah tempat di Jakarta ini.
Waspada pada keburukan tak boleh membuat kita lupa pada kebaikan dan keindahan. Itu prinsip saya.
Jakarta, 25 Januari 2012
Foto diambil dari sini
“…siap siaga tak berarti sama dengan kecurigaan dan ketakutan yang berlebihan.”
Sepakat, bahkan dengan seluruh “alat bantu” yang gue sebutkan di blog, bukan berarti bahwa gue paranoid. Kebetulan saja benda-benda tersebut memang selalu dibawa karena tersimpan di dalam tempat pensil dan ada pula yang berfungsi sebagai gantungan kunci. Kondisinya kini sudah menjurus ke arah mencemaskan, ya, tapi bukan berarti kita harus takut beraktifitas keluar rumah, takut naik kendaraan umum, apalagi takut hidup di Jakarta (dan Indonesia).
Btw, karena penasaran akhirnya gue memesan alat setruman (stun gun) di Kaskus. Yang menarik adalah SMS balasan terakhir si penjual, “Thanks! besok siang saya kirim. Semoga alatnya gak kepakai. :D” Gue spontan ngakak! Gue pun sadar, pada akhirnya kita memang tidak pernah bisa benar-benar membeli keamanan, melainkan hanya ilusinya saja.
ahahaha. benar sekali sar. ketakutan itu buat ditaklukkan dan hasilnya adalah keberanian, bukan jaminan keamanan 100%. yup, saya berdoa semoga alat setrum itu makin lama makin gak dibutuhkan karena Jakarta jadi makin aman dan damai
semoga mas haris bisa beradaptasi dengan atmosfer jakarta yang panas dan keras. di balik pencitraan semacam itu tentu masih ada celah dan ruang yang nyaman dan penuh sentuhan kasih sayang.
yup, bener pak. adaptasi memang akhirnya diperlukan sambil terus menyadari bahwa ada kenyamanan di balik banyak keruwetan dan ancaman kejahatan
Mas mungkin semua permasalahan ini berlaku karena Jakarta terlalu dibebani dengan limpahan tenaga kerja, sedang pekerjaan di sana hampir susah untuk dijumpai. Untuk pengetahuan mas Haris, saya dan keluarga pernah bercuti ke Jakarta. Dan sepanjang berada di Jakarta, banyak kenangan yang sukar kami lupakan yang berkait dengan masyarakat sekitar, macet dan masalah sosial.
Seharusnya mereka yang menaruh harapan tinggi dengan berhijrah ke kota, diberikan peluang hidup yang lebih baik. Oh ye mas Haris, ini kunjungan pertama saya ke blognya mas Haris. Minta ijin untuk membaca kandungan blog ini ya.
Salam perkenalan blogger dari penulis blog Malaysia.
2 hal yang saya pelajari ketika di Jakarta:
1. letakkan tas di depan ketika jalan-jalan atau naik angkot.
2. tak perlu takut tempat tujuan terlewati ketika tidur di angkot, karena kita bisa saja tetap di titik yang sama setelah tertidur selama 15 menit.
Siapapun yang bisa hidup di Jakarta bisa hidup dimana saja diseluruh Indonesia, wkwkkw…