Pak Bual
Dua tahun lalu, saat datang ke kos-kosan saya di Jakarta, Pak Bual adalah orang yang saya jumpai pertama kali. Kos-kosan itu terdiri dari dua lantai, di mana lantai pertama terdiri dari tiga rumah petak sementara lantai kedua berisi kamar kos berjumlah 12 buah. Siang itu, saya melihat Pak Bual sedang berada di rumah petaknya yang terletak paling ujung, dekat dengan pagar. Dia sedang menjahit.
Saya celingak-celinguk sebentar, lalu menyapanya. Ia membalas ramah dan bahkan dengan sukarela membantu saya. Ia yang paling awal memberitahu saya ihwal kos-kosan ini, berapa harga sewanya, bagaimana kondisinya, sudah penuh atau belum, meski jelas bahwa menyampaikan semua informasi itu bukanlah tugasnya. Pak Bual pula yang membantu saya memanggilkan si penjaga kos yang sedang berada di rumah sebelah kepunyaan pemilik kos.
“Saya sudah sms dia. Duduk dulu aja, Mas,” katanya.
Dan saya pun duduk di depan pintu rumah petak itu, memerhatikan aktivitasnya, mesin jahit yang digunakannya, baju-baju dan gambar-gambar model pakaian yang tergeletak di sekitarnya, juga gelas kopinya yang menghitam dan penuh. Saya ingat dia memakai kemeja dan sarung—model pakaian yang selalu ia gunakan saat menjahit dan ngobrol panjang lebar dengan saya pada waktu-waktu yang lebih kemudian.
Siang itu, dalam masa perkenalan kami yang singkat tapi penuh kesan, saya sudah menyadari bahwa dia suka membual. Saya tahu dia sendirian di rumah petak itu karena keluarganya ada di tempat lain. Saya juga tahu dia berasal dari satu kabupaten di Jawa Tengah, entah Kudus atau Pati, tapi saya tak tahu namanya. Sesungguhnya, sampai sekarang saya tak pernah benar-benar tahu namanya. Pak Bual juga tak menanyakan nama saya tapi dia bertanya dari mana asal saya, kerja di mana, kapan mulai merantau ke Jakarta, sudah berkeluarga atau belum.
Kadang-kadang, saya merasa inilah salah satu ciri keramahan khas Jawa: kita bisa berakrab pada siapa saja tanpa tahu nama tapi kita harus tahu asal orang itu atau dia sudah menikah atau belum. Entah kenapa begitu, tapi yang jelas Pak Bual memberitahu saya banyak hal—di mana istrinya tinggal, berapa anaknya dan kerja di mana saja mereka, apa kerja yang sudah pernah dilakoninya, dan banyak lagi, tapi dia tak pernah menjabat tangan saya dan menyebut nama meskipun hanya nama panggilan.
Maka, lebih dari dua tahun kemudian, saya mengenangnya sebagai Pak Bual semata-mata karena, menurut saya, dia suka membual. Dia adalah orang yang gemar ngobrol dan bercerita tentang banyak hal yang tak terhingga dalam durasi yang mungkin tak berbatas. Pada malam hari sesudah saya pulang kerja, Pak Bual sering mengajak saya duduk di rumah petaknya, mengobrol perihal pengalaman-pengalamannya, dalam waktu yang sangat lama. Obrolan itu juga terjadi pada akhir pekan, ketika saya kebetulan tak keluar kos-kosan dan dia tak pulang ke Bogor untuk menengok istrinya.
Durasi obrolan-obrolan saya dengan Pak Bual, percayalah, bisa sangat lama, dan itu bukan hasil kontribusi kami berdua melainkan semata-mata karena dia. Kadang-kadang kalau saya malas—dan ini sering terjadi—saya hanya menggumamkan satu kata, tersenyum, mengangguk atau menggeleng, untuk menanggapi berondongan ceritanya yang panjang. Bila saya sudah begitu bosan, atau terdesak oleh keperluan yang penting atau mendadak, maka dengan sesopan mungkin saya akan minta diri.
Saat itu terjadi, Pak Bual selalu kelihatan kecewa, berusaha menahan saya, bertanya apakah saya sudah ngantuk atau hendak ke manakah saya, seolah-olah dia adalah orang yang begitu kesepian sehingga orang yang tak begitu dikenalnya ini menjelma jadi teman yang begitu berharga. Kadang saya tak kuasa meninggalkan dia, terjebak oleh tatapannya yang penuh harap, tapi lebih sering saya meninggalkannya begitu saja. Beberapa kali malah dengan terburu-buru.
Berdasarkan cerita-cerita panjangnya ke saya, Pak Bual datang ke Jakarta pada 1980-an, pada tahun ketika saya belum lahir. Saya lupa bagaimana dan kenapa dia bisa merantau tapi saya ingat dia bercerita bahwa pertama kali datang ke Jakarta, ia menginap di masjid di Pasar Tanah Abang. Cerita ini saja sudah menunjukkan betapa keras hidupnya dan cerita-cerita selanjutnya menguatkan kesan bahwa dia punya kehidupan yang penuh warna—atau dia ingin kelihatan begitu.
Pak Bual mengaku pernah bekerja untuk sejumlah tokoh paling dikenal di Indonesia. Ia menyebut seorang nama petinggi militer di Jakarta pada 1980-an, di mana dia menjadi orang kepercayaan sang pejabat. Dia berkisah, suatu hari, ia naik motor di sekitar Jakarta dan karena melakukan pelanggaran lalu-lintas, seorang polisi mencegatnya. Pak Bual diminta menunjukkan surat-surat dan saat ia memberikan STNK sepeda motor yang dinaikinya, sang polisi melepaskannya begitu saja tanpa memberikan surat tilang. Penyebabnya, di STNK motor itu tertulis nama sang pejabat.
Berkali-kali Pak Bual memuji kebaikan hati si petinggi militer itu, juga menunjukkan betapa sang majikannya itu punya kekuasaan besar di Indonesia masa itu. Pak Bual juga secara rutin dan terus-menerus mengesankan bahwa dia begitu dekat dan sangat dipercayai si petinggi militer tersebut.
Selain orang dekat si petinggi militer, Pak Bual mengaku pernah menjadi orang kepercayaan Mbak Tutut. Ya, itu Tutut yang putri Presiden Soeharto dan pengakuan itu saja sudah menunjukkan betapa dekatnya Pak Bual dengan episentrum kekuasaan saat Orde Baru masih berjaya. Tidak main-main, Pak Bual bercerita bahwa dia pernah menjadi direktur sebuah perusahaan atas suruhan Mbak Tutut.
Dia juga menyatakan pernah memiliki mall di daerah pinggiran Jakarta tapi pusat perbelanjaan itu bangkrut dan hidupnya menjadi sulit. “Mas tahu mall yang itu kan? Itu dulu milik saya,” katanya. Saya menggeleng. Karena masih baru di Jakarta, saya tak bisa mengenali mall mana yang didakunya, dan akibatnya saya tak bisa mengingat nama mall atau lokasinya sekarang.
Semua kisah itu tentu saja fantastis, tapi yang lebih menakjubkan, Pak Bual dengan enteng mengatakan dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Pak SBY itu saya dekat, Mas,” katanya. Ketika dia menyampaikan hal itu dengan ekspresi yang tanpa beban, saya hampir seratus persen yakin dia membual dan menjadikan aktivitas itu sebagai hobi. Maka, ketika dia berkisah soal putrinya yang menjadi doktor dan mengajar di universitas ternama, juga putranya yang berhasil membuka bengkel besar, saya tak lagi menganggapnya serius.
Sejumlah kawan yang sempat berkunjung ke kos dan mendengarkan kisah-kisah Pak Bual juga punya simpulan bahwa orang tua itu hanya membual. Karena kebiasaannya itu, saya menjaga jarak dengan Pak Bual, kadang berprasangka bahwa dia bisa saja berbuat jahat ke saya. Tapi prasangka saya sungguh-sungguh keji dan salah.
Bilapun dia benar-benar suka berbohong, Pak Bual tetap sepenuhnya orang baik. Dia selalu menghentikan aktivitasnya saat adzan berkumandang, segera menyambar peci putihnya, lalu bergegas menuju mushola di dekat situ. Dia juga sangat baik ke saya. Berkali-kali dia menjamu saya, misalnya dengan membuatkan kopi atau membagi makanan yang dibelinya. Saat handphone satu-satunya yang saya miliki rusak, Pak Bual dengan ringan tangan meminjamkan handphone miliknya supaya saya bisa berkomunikasi dengan keluarga saya di Solo.
Pak Bual juga seorang pekerja keras. Pada usia menjelang 60-an, dia tetap bekerja dengan tekun meski penghasilannya pas-pasan. Usaha jahit kecil-kecilan yang dikerjakannya itu memang bukan miliknya dan dia hanyalah seorang karyawan. Ia juga seorang lelaki tua yang tabah, berssedia tinggal sendirian selama lima hari per minggu, memasak atau membeli makanannya sendiri, juga mencuci semua pakaiannya sendiri.
Maka, ketika suatu hari saya menyadari dia sudah pindah tanpa saya ketahui sebelumnya, saya merasa kehilangan. Saya tak pernah tahu kenapa dia pindah tapi kemungkinan besar karena usaha jahit di mana dia menjadi karyawan sudah bangkrut. Dia mungkin membangun usaha jahitnya sendiri, atau berganti kerja ke orang lain, tapi saya yakin di suatu tempat yang baru itu dia akan menemukan pendengar baru, kepada siapa dia membagi bualan-bualan paling fantastis yang pernah diciptakannya.
Jakarta, 12 januari 2012
ilustrasi diambil dari sini
Amin… mudah-mudahan ditempat yang baru itu beliau menemukan pelanggan yang baru dan mendapatkan rejeki yang melimpah.
Oiya kenapa tidak nanya ke warga sekitar, siapa tau ada yang tau keberadaanya…!
sudah nanya mas ke beberapa orang di kos2an. kayaknya dia pulang ke Bogor, bersama istrinya, tapi usaha apa tak tahu lagi
nice story..saya cuma membayangkan gimana kalo ternyata yang diceritakan bapak itu ternyata bukan bualan semata, piye jal Ris?? trus suatu saat dirimu ketemu lg dengan beliau dalam keadaan dan situasi yang sama sekali berbeda..njuk dadi koyo sinetron malahen..hehehe.. piye kabarmu? sehat?
nah nah, kadang aku juga takut kalau ternyata dia tidak membual. he2. tapi bagaimana bisa seorang teman dekat tokoh penting kok tinggal di rumah petak jelek dengan kondisi pas2an? he2.
kabarku apik, njul. kowe piye? dadi blogger meneh yo? 😀
postingannya manatab, lebih panjang dari cerpen, siap siap ada orderan buat skenario sinetron…
eh, memang ada sinteron yang pakai skenario beneran ya? 😀
Sudah dimuwat di koran balon bang pencariyannya?
lho Pak Bual nggak menghilang. dia pindah aja kok, cuma saya nggak tahu ke mana dia pindah, gitu aja. jadi ya gak perlu diumumkan di koran, cukup di blog aja 😀
sangat keren;))