Mempertahankan Kebebasan
Dalam buku Allah, Liberty and Love, Irshad Manji menulis bahwa kaum muslim moderat di dunia mesti belajar kepada Indonesia dalam mengelola keragaman. “Nabi Muhammad menyarankan supaya umat Muslim merantau sampai ke Cina untuk mencari ilmu. Upaya ijtihadku menafsirkan kembali ‘Cina’ sebagai ‘Indonesia’,” katanya.
Saat menyatakan hal itu, Irshad sedang mengisahkan bagaimana acara bedah bukunya, Beriman Rasa Takut, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, pada April 2008 berlangsung dengan semarak dan damai. Acara itu dihadiri oleh pelbagai kalangan yang punya pemikiran berbeda-beda, dari orang Islam fundamentalis sampai seorang transeksual. Irshad melukiskan acara diskusi itu dengan kata-kata yang indah:
“Mereka saling tidak sependapat. Di antara perdebatan kata-kata, gitaris memetik gitar, penyair berdeklamasi, dan penari menikmati tarian Jawa mereka. Tidak ada yang menyepelekan ketegangan; mereka menganggap ketegangan merupakan keniscayaan dalam demokrasi—ciri khas dari demokrasi sejati.”
Meski disertai perdebatan dan ketegangan, acara itu berlangsung lancar dan damai. “Sepanjang pengetahuanku, semua orang meninggalkan acara itu dengan aman, termasuk seorang transeksual yang paling vokal,” ungkap Irsahd. Yang unik, dalam acara itu, di depan orang-orang Islam fundamentalis yang menganggap transeksual sebagai dosa besar, pria transeksual itu mengaku telah melakukan operasi kelamin dan kini sedang berupaya untuk memakai jilbab.
Di Afghanistan atau Mesir, tak ada pria yang bisa mengaku secara terang-terangan telah berganti kelamin dan hendak memakai jilbab. Di Indonesia, empat tahun lalu, pengakuan itu bisa terjadi di sebuah perpustakaan umum yang terhormat. Dan ingat, pengakuan itu diucapkan di depan orang-orang fundamentalis yang pasti merah kupingnya saat mendengar itu. Tapi, toh, diskusi itu berlangsung tertib dan damai.
Sayangnya, itu semua terjadi empat tahun lalu. Sekarang, bisakah kita mengulang momen yang serupa di Indonesia? Mungkin saja masih, tapi harus kita akui bahwa akhir-akhir ini kita menghadapi gelombang intoleransi dan kesempitan berpikir yang mengkhawatirkan. Pembubaran diskusi buku Allah, Liberty and Love di Jakarta, Solo, dan Yogyakarta, oleh sekelompok ormas yang mengatasnamakan Islam tapi menghalalkan kekerasan adalah bukti yang tak terbantahkan soal itu.
Orientasi seksual Irshad Manji dijadikan dasar pembubaran diskusi, padahal jelas buku baru Irshad tak bicara soal orientasi seksual. Ironisnya, mereka yang melakukan pembubaran itu belum membaca buku yang mereka tolak sendiri, dan bahkan mereka tak tahu apakah Irshad itu laki-laki atau perempuan!
Sekelompok orang dari Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) di Solo, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Yogyakarta telah semena-mena menghalangi kebebasan berbicara dan berkumpul yang dijamin oleh UUD 1945. Fatalnya, polisi terus-menerus tunduk pada kelompok-kelompok vigilante semacam ini.
Pembubaran diskusi di Komunitas Salihara, Jakarta, oleh Kapolsek Pasar Minggu, adalah contoh bagaimana polisi tunduk pada keinginan sekelompok orang yang hendak memberangus kebebasan sekelompok yang lain. Dibiarkannya perusakan dan kekerasan oleh MMI di Kantor LkiS, Yogyakarta, adalah contoh pembiaran yang merusak keberadaban kita. Tindakan polisi ini menyedihkan karena di saat kelompok-kelompok vigilante ini makin ganas dan ngawur, polisi terus-menerus diam dan tunduk pada mereka.
Yang lebih menyedihkan, sikap-sikap kelompok vigilante ini sekarang didukung oleh orang dan kelompok yang sebelumnya bisa kita katakan sebagai kelompok moderat. Di UGM, kader-kader gerakan Tarbiyah yang tergabung dalam lembaga dakwah kampus ikut-ikutan menolak kedatangan Irshad Manji. Beberapa hari kemudian, dalam sebuah diskusi, aktivis Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)—organisasi mahasiswa di bawah Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—mendukung penolakan terhadap kedatangan Irshad.
Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) juga ikut menolak diskusi buku Irshad. Di Facebook, saya berdebat selama beberapa hari dengan teman-teman kuliah saya yang merupakan kader-kader Tarbiyah perihal penolakan diskusi buku Irshad Manji. Mereka, teman-teman saya itu, turut mendukung sikap FPI, LUIS, dan MMI yang menolak kebebasan berbicara.
Bahkan, mereka juga akhirnya turut membenarkan kekerasan yang dilakukan MMI—padahal korban dari kekerasan itu kebanyakan adalah sesama Muslim. Yang mengejutkan, ada seorang Muslimah yang dengan terang-terangan menyatakan bahwa seandainya anaknya ikut dalam diskusi yang kontroversial, seperti diskusi buku Irshad, lalu anaknya menjadi korban kekerasan kelompok vigilante, dia tak akan membela anaknya. “Aku tak akan menyalahkan siapapun,” katanya.
Saat menyatakan itu, Muslimah itu lupa: sikapnya itu justru menyalahkan anaknya sendiri dan dengan begitu ia mengubah korban menjadi pelaku. Dan bila dia tak mau membela kebebasan berpikir anaknya sendiri, bagaimana dia bisa membela kebebasan para peserta diskusi buku Irshad?
Apa-apaan ini sebenarnya? Dan apa yang sedang terjadi sesungguhnya?
Ada tiga fakta yang harus saya katakan dengan sedih. Pertama, kelompok-kelompok vigilante di Indonesia makin ganas. Sasaran mereka bisa siapa saja dan alasan apapun bisa dibuat. Yang paling berbahaya dari kelompok-kelompok ini adalah ormas yang mengatasnamakan agama. Dengan agama, yang mereka tafsirkan sendiri dan mereka anggap tafsiran itu paling benar, kelompok ini bisa membenarkan kekerasan yang mereka lakukan. Bukankah atas nama Tuhan, semuanya boleh dilakukan?
Kedua, tampaknya polisi makin tak berdaya di hadapan kelompok-kelompok vigilante yang berkedok agama ini. Sementara kelompok-kelompok ini makin ganas, polisi justru makin lembek dan terus-menerus tunduk pada mereka. Ini jelas kabar yang sangat buruk.
Ketiga, yang tak kalah buruk, sebagian kaum Muslim arus utama di Indonesia mulai membenarkan tindakan kelompok-kelompok vigilante ini. Mereka lebih merasa terluka dan dihinakan oleh orientasi seksual seseorang, yang jelas tak ada kaitan dan dampak langsung pada mereka, ketimbang kekerasan yang dilakukan sekelompok preman yang mengatasnamakan agama. Padahal tindak kekerasan itu bukan hanya melukai secara fisik tapi justru ikut merusak agama itu sendiri.
Sebelum penolakan buku Irshad ini, organisasi semacam lembaga dakwah kampus dan KAMMI terlihat sangat moderat dalam memandang kebebasan berekspresi. Mereka tentu punya pandangan yang cukup saklek dalam beragama, tapi sepanjang pengetahuan saya, mereka cukup bisa menghargai ruang bicara kelompok lain. Tapi kenapa sekarang mereka berbalik? Yang menyedihkan, kenapa organisasi serupa IMM dan BEM UMS juga turut menyuarakan penolakan terhadap kebebasan berdiskusi?
***
Menghadapi semua ini, mau tidak mau, kita yang awam tapi mendukung kebebasan ini sudah seharusnya turut campur. Jangan lagi merasa bahwa semua itu bukan urusan kita. Barangkali kita bukan aktivis dan tidak pernah berniat menjadi aktivis, tapi melihat kebebasan yang terus-menerus terampas itu, apakah kita bisa diam? Apabila para pendukung kelompok vigilante itu dengan berani bersuara keras, kenapa kita, yang mendukung kebebasan, tidak berani bersuara?
Ingat juga bahwa kali ini kita mungkin bukan korban langsung dari kelompok vigilante semacam itu, tapi lain kali siapa yang bisa menjamin? Ingat juga bahwa yang kita hadapi bukan hanya kelompok-kelompok yang menghalalkan kekerasan, tapi juga para pendukungnya yang mengesahkan kekerasan itu. Ingatlah bahwa si Muslimah yang saya sebut di atas tadi bukan hanya akan melegitimasi kekerasan MMI di Kantor LKiS, tapi suatu saat ia juga akan membenarkan kekerasan yang terjadi pada kita.
Bukankah seseorang yang membenarkan kekerasan pada orang lain, pada saat lain juga akan membenarkan kekerasan yang menimpa kita?
Dengan kaca mata seperti inilah saya sepenuhnya mendukung Gerakan #IndonesiaTanpaFPI #IndonesiaTanpaKekerasan. Gerakan ini telah mengajukan somasi ke Kapolri dan kini terus menggalang dukungan atas somasi itu via blog mereka. Ini mungkin tindakan kecil, tapi bukankah sudah jelas bahwa setiap gerakan besar selalu dimulai dari tindakan-tindakan kecil?
Tentu, mendukung somasi Kapolri itu bukan satu-satunya langkah yang bisa kita lakukan. Anda bisa membaca Allah, Liberty and Love—juga membuka-buka website irshadmanji.com—yang berisi banyak petunjuk tentang bagaimana orang-orang awam bisa melakukan tindakan perlawanan terhadap dogmatisme dan kekerasan di sekitar mereka.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip Akbar Ladak, seorang warga negara India yang memutuskan berjuang untuk melawan kelompok radikal yang mengatasnamakan agama:
“Jadi, hari ini marilah berjanji demi keyakinan, negara, dan diri kita sendiri. Kita tidak akan tinggal diam ketika seseorang memanfaatkan agama kita untuk melegitimasi kefanatikan, misoginis, dan kekerasan. Kita akan melawan sekuat-kuatnya. Kita tidak akan digertak oleh mereka yang menunjuk dirinya sebagai penjaga agama, yang mengatakan Islam mereka lebih murni daripada Islam yang kita tahu. Muslim mendefinisikan Islam, dan kita semua adalah penjaganya.”
Jakarta, 15 Mei 2012
Gambar diambil dari sini
Haris, makasih atas tulisannya yg makin menguatkanku utk tidak tinggal diam saja dg tindakan anarki para pengecut itu. Sebagai korban tragedi penyerangan LKiS, meninggalkan jejak trauma yg cukup dalam bagi sy.Mereka yg menuhankan agama bertindak semena2 seolah2 hanya golongan mereka saja yg kelak masuk surga. Lewat media, mereka mencoba utk memutarbalikkan fakta yg terjadi saat penyerangan. Kami yakin, masih banyak yg peduli dg perjuangan utk menegakkan keadilan. Semoga kami diberikan kekuatan dalam menjalani sgala proses pengadilan yg entah berakhir sampai kapan.Hidup #Indonesiatanpakekerasan!
sama-sama, azzah. jangan pernah takut, kawan! orang-orang itulah yang pengecut, berlindung di balik helm dan kata-kata takbir, tapi menyerang para perempuan. menjijikkan. sudah saatnya mereka dilawan. Indonesia mesti jadi negara dg penghargaan yg besar terhadap keragaman.
Life for Freedom
sebenarnya, kebebasan yg buat hidup mas. bukan sebaliknya