Sia-sia
Saya percaya tidak semua hal itu memiliki guna, dan karena itu saya percaya selalu ada yang sia-sia pada hidup kita. Orang-orang tua di Jawa sering mengatakan bahwa di balik setiap kejadian itu terselip hikmah, sebuah pelajaran tersembunyi yang tidak bisa kita kenali saat itu juga, tapi saya tak terlalu percaya petuah macam itu.
Sebab, jangan-jangan “hikmah” adalah sesuatu yang kita karang untuk menenangkan diri sendiri, supaya kejadian yang sesungguhnya sia-sia itu bisa kita terima dengan lapang dada. Saya kira, yang terpenting bukanlah “mengambil hikmah” dari sebuah peristiwa yang sebenarnya sia-sia, tapi justru bagaimana kita menerima kesia-siaan itu dengan lapang dada. Dan, dalam hal menerima kesia-siaan, menurut saya, kita bisa belajar pada Goenawan Mohamad.
Di antara ratusan puisi Goenawan, salah satu yang paling saya sukai adalah “Di Kebun Jepun”. Ditulis pada 1973, puisi itu bercerita tentang perasaan yang sia-sia antara seorang lelaki dan perempuan yang sudah sama-sama memiliki keluarga. Saya bayangkan dulu kedua orang itu saling mencintai, tapi kemudian entah kenapa tak menikah, lalu suatu hari mereka bertemu kembali di sebuah kebun dan mengenang perasaan masing-masing. Saat itulah muncul kesadaran bahwa perasaan cinta di antara mereka itu sia-sia belaka.
Tiap kali membaca puisi itu, saya selalu merasa sangat sedih karena menyadari perasaan bisa begitu menyiksa dan sia-sia. Seorang kawan menyebut “Di Kebun Jepun” sebagai puisi yang menggambarkan keputusasaan dengan sangat indah. Nuansa putus asa dan sia-sia itu memang sudah terasa sejak bait awal puisi, ketika Goenawan menyebut sepasang kekasih itu sebagai “sepasang orang asing” dan mereka ternyata bertemu di kebun Jepun itu hanya untuk “berbicara tentang daun-daun”.
Pada bait berikutnya, Goenawan menyebut lelaki-perempuan itu sebagai “bayang-bayang” yang “menghitam oleh usia”. Dan, pada bait-bait selanjutnya, kita akan menemui nuansa kesia-siaan secara nyata dan verbal. Salah satu baris yang paling telak adalah ketika satu dari dua orang itu berkata, “Perasaan kita ternyata sialan dan sia-sia, tak ada gunanya.” Lalu, sehabis itu, akan ada sejumlah hal dianggap sebagai kesia-siaan, seperti sunyi dan nama pohon.
Di bagian akhir puisi, kita tahu dua orang itu akhirnya sepakat bahwa yang mereka butuhkan hanyalah fantasi. Dengan kata lain, mereka sebenarnya tak bisa mengubah kenyataan, dan pada akhirnya menyerah.
Kenangan bisa hanya beban,/ cinta tak ada jalan keluar,/ dan matahari hanya sebentar.
Lalu apa? Tidak ada. Kita tak melihat ada upaya mencari hikmah atau pelajaran dari situasi itu. Kebuntuan itu hanya berarti kebuntuan dan bukan hal lain. Keduanya putus asa, tapi saya kira, ada sikap untuk menerima kesia-siaan yang hadir dalam puisi itu, seperti dengan melontarkan humor yang juga sebenarnya sia-sia.
“Lalu, apa yang berguna?”/ “Semut-semut,” sembur yang laki-laki. Mereka tertawa,/ memandangi sebaris semut merah mendaki tanah, menghindari basah./ “Atau,” sambungnya, “yang berguna adalah gangsa.”/ “Tapi di kebun ini tak ada gangsa.”//… Kita butuh fantasi, pasangan itu ingin berbisik./ Tapi mereka tak berbisik. Hanya bersintuhan, sekali lagi.//
Saya tak tahu, apakah cinta yang tak sampai—atau perasaan terhadap orang yang tak mungkin kita gapai—harus dianggap sebagai kesia-siaan. Mungkin saja iya, sebab ia tak memberi manfaat yang riil pada kita, dan lebih banyak meninggalkan beban. Tapi, bisa jadi juga tidak, sebab betapapun sedikitnya, cinta selalu menimbulkan kebahagiaan atau ketenteraman.
Cuma, masalahnya, menyadari sesuatu sebagai kesia-siaan tak berarti serta merta kita bisa menghilangkan yang sia-sia itu. Sebab, perasaan seringkali muncul tanpa sengaja, dan meski ia mungkin tak memiliki guna apa-apa, kita tak bisa mengelakkannya begitu saja. Dalam hal ini, saya sepakat dengan kicauan seorang selebtwit yang menyatakan: untuk mencintai kita tak perlu mengambil keputusan, tapi untuk menikah kita perlu mengambil keputusan.
Contoh lain soal perasaan dan kesia-siaan ada dalam film Rectoverso yang diadaptasi dari kumpulan cerita pendek Dewi Lestari. Seperti kita tahu, Rectoverso adalah sebuah omnibus yang terdiri dari lima film pendek dengan alur dan tokoh yang tak berkait satu sama lain. Tapi, semua film pendek dalam omnibus itu ternyata memiliki benang merah, yakni tentang cinta yang tak terucapkan.
Di antara lima film dalam Rectoverso, contoh paling baik soal kesia-siaan ada pada Hanya Isyarat yang disutradarai Happy Salma. Dalam film itu, kita bertemu seorang perempuan bernama Al yang mencintai laki-laki bernama Raga. Keduanya tergabung dalam satu kelompok backpakers dan dalam satu perjalanan, Al tahu ia jatuh cinta pada Raga. Tapi, sesuatu membuat cintanya itu tak akan pernah sampai.
Maka, Al hanya bisa memandang punggung Raga dari belakang, sembari pelan-pelan menerima bahwa ia mungkin cuma bisa memiliki punggung itu, bukan bagian yang lain. Terlepas dari penggarapan teknis film Hanya Isyarat yang kedodoran, cerita ini sebenarnya menarik. Dulu, beberapa tahun lalu, saya pernah menjadikan cerita itu sebagai bahan wawancara imajiner dengan Dee untuk memperlihatkan bahwa harapan kita untuk memiliki sesuatu seringkali berakhir dengan menyakitkan.
Tapi, harapan juga bukan sesuatu yang sepenuhnya bisa kita kendalikan. Hanya pada saat harapan itu benar-benar terhapus, kita tahu bahwa kita telah sampai pada kesia-siaan. Terkadang, pada akhirnya kita memang tak menemukan jalan keluar dan satu-satunya sikap yang mungkin adalah menerima kebuntuan itu.
NB: foto diambil dari sini.
yang lebih baik adalah tidak sekedar menerima tetapi juga belajar untuk tidak mengulang kesia-sian tersebut..:-)
kalau secara rasional, tentu gitu. tapi kadang hidup gak berjalan dalam logika yang rasional kan 😀
hidup itu penuh kejutan. maka bersiaplah! hahahaha….