Puisi Sebagai Subversi
Dalam kehidupan manusia, sebuah puisi seharusnya hadir sebagai sebentuk subversi. Sebagai bagian dari fiksi, puisi sudah sepantasnya datang sebagai semacam alternatif guna membikin “yang berbeda” hadir pada hidup kita yang belakangan ini sudah dimakan iklan dan dibuat bosan oleh politik.
Seperti pernah disampaikan Sapardi Djoko Damono, “tugas” fiksi adalah membuat jeda sejenak dari rutin yang mengelilingi kita. Kehadirannya diharapkan membuat kita bisa melakukan “perjalanan bolak-balik” antara yang nyata dengan yang imajiner. Perjalanan itu, sesungguhnya, hampir terus-menerus menjadi sesuatu yang selalu kita butuhkan selama kita masih ingin bertahan jadi “orang waras”: ia menjadi semacam ritual yang menjaga kita tetap ada dalam sejenis “keseimbangan”.
Daya subversi puisi bukan hanya ditentukan oleh kemampuan seorang penyair menggubah kata-kata. Faktor yang juga menentukan adalah realitas yang terjadi dalam masyarakat di mana puisi itu hadir. Di dalam suasana yang totaliter, misalnya, puisi bernada protes yang “realis” bisa menjadi subversi yang amat ampuh. Ketika sebuah negara dikungkung kekuasaan yang tertutup, puisi-puisi protes adalah sesuatu yang dibutuhkan guna menyampaikan hasrat masyarakat yang direpresi dengan amat kuat.
Puisi-puisi pamflet WS Rendra, misalnya, adalah puisi yang meneriakkan subversi di tengah sistem totaliter orde baru yang menampik protes. Kumpulan puisi Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), merupakan dokumentasi yang apik tentang bagaimana sebuah puisi protes hadir dan bernegosiasi dengan kenyataan di sekelilingnya. Pada tahun 1970 sampai 1980-an, puisi-puisi Rendra ikut hadir dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa sebagai pembangkit semangat dan tenaga untuk terus menghidupi protes.
Berdasar kesaksian Hendardi, mantan Ketua Dewan Mahasiswa ITB kala itu, sajak perlawanan yang kerap digemakan Rendra di kampus-kampus telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi dia dan kawan-kawannya. Puisi-puisi itulah yang telah membuatnya mampu bertahan di tengah represi aparat yang amat dahsyat. Bahkan saat Hendardi dan kawan-kawannya menyusun pledoi para aktivis mahasiswa angkatan 1978 yang diadili, sajak Rendra turut dikutip.
Kondisi yang hampir mirip terjadi tatkala Wiji Thukul hadir. Penyair yang dulu sehari-hari tinggal di sebuah kampung kecil di Solo itu menghadirkan puisi-puisi bernada protes tatkala kekuasaan Soeharto makin meminggirkan rakyat kecil. Sejumlah puisinya hadir menyemarakkan demonstrasi mahasiswa tahun 1990-an. Pada masa demonstrasi besar-besaran tahun 1998, hampir tak ada aktivis mahasiswa yang tak kenal Thukul maupun puisinya. Sebuah kalimat pendek dari puisinya yang berjudul “Peringatan”—yang berbunyi: “hanya ada satu kata: lawan!”—telah menjelma menjadi kredo bagi resistensi komponen masyarakat sipil terhadap kuasa negara yang sewenang-wenang.
Raibnya Wiji Thukul tatkala terjadi huru-hara pada era menyingsingnya reformasi ternyata tidak membuat sajak-sajaknya tenggelam. Sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi Aku Ingin Jadi Peluru itu, justru makin dikenal, tambah banyak dikutip dan digunakan dalam demonstrasi. Hilangnya Thukul justru makin meneguhkan “mitos kepenyairannya” dan membuat sajaknya benar-benar mewujud sebagai subversi yang sempurna dari kekuasaan orde baru.
***
Di Indonesia hari ini, ketika kuasa pemerintah tak lagi represif dan orang bisa melaksanakan protes di dekat Istana Negara, puisi seharusnya menghadirkan subversi yang berbeda dari Rendra atau Thukul. Puisi-puisi protes yang “realis” mungkin tak akan lagi memukau sekarang. Sebab, bukankah di mana-mana—di jalan atau di kampus, di televisi dan internet—kita telah banyak melihat banyak protes?
Lagi pula, bukan hanya kuantitas protes saja yang meningkat. Secara kualitas, protes-protes itu juga mengalami peningkatan. Pada masa ini di Indonesia, misalnya, ada orang yang bisa dengan mudah mencela seorang kepala negara di depan umum tanpa harus takut akan dihukum. Demokrasi telah memungkinkan pendapat apapun bisa dan boleh dihadirkan dengan dalih kebebasan.
Pada kondisi itu, tak ada lagi yang istimewa dengan puisi protes. Di suatu zaman yang dipenuhi dengan protes, sebuah sajak yang masih saja secara lugu berusaha untuk memprotes keadaan tak akan lagi menjadi sebentuk subversi. Di suatu dunia yang dikepung protes, sajak protes barangkali hanya akan terdengar lucu atau membosankan. Meminjam analogi Sapardi, sajak protes pada masa ini tak akan membuat kita bisa melakukan “perjalanan bolak-balik” antara yang nyata dengan yang imajiner. Membaca sajak-sajak protes yang sibuk membicarakan korupsi atau pemilihan umum pada masa ini, kita tak akan mengalami perjalanan ke mana-mana. Kita hanya akan diam di tempat.
Kondisi ini berbeda dengan masa Rendra atau Thukul. Pada masa keduanya, situasi yang dominan dalam masyarakat adalah kebungkaman dan ketakutan. Dalam kondisi itu, keduanya menghadirkan narasi-narasi perlawanan penuh keberanian yang menggoyang tatanan sosial dan otomatis hadir sebagai subversi. Membaca sajak-sajak mereka kala itu, kita akan diajak melakukan perjalanan melintasi realitas masyarakat—yang penuh ketakutan—menuju realitas imajiner yang heroik dan penuh keberanian, serta integritas moral. Tepat pada titik itulah, kenikmatan membaca sajak keduanya didapat.
Pada masa sekarang, sebuah puisi seharusnya dipandang dengan cara yang sepenuhnya berbeda dengan masa mereka. Seorang penyair bukanlah seorang yang merasa paling hebat lalu menuruti ego sendiri dalam membuat puisi. Penyair yang baik adalah mereka yang paham bagaimana kondisi masyarakatnya dan tahu di mana harus menempatkan sajak-sajak mereka. Itulah kenapa Sapardi juga mengingatkan agar para sastrawan yang selama ini mensosialisasikan karya di koran agar membuat karya yang tak kalah dengan berita.
Berita-berita di media massa kala ini, seperti disebut Sapardi, makin hari makin menghadirkan cerita-cerita sensasional yang luar biasa. Para pembaca sekarang hampir tiap hari disuguhi berita bombastis yang melatih “urat kaget” mereka agar tak menjadi orang yang gampang “terkejut”. Kalau tiap hari di hadapan mereka dihidangkan sajian yang senasional dan luar biasa, maka lama-lama “standar sensasionalitas” di kepala mereka pasti akan meningkat.
Menghadapi kondisi ini, para penyair seharusnya tak mau kalah dengan berita dan berusaha menciptakan karya-karya yang lebih mengejutkan dan “sensasional”. Kalaupun mereka masih hendak membuat puisi protes, misalnya, harus ada usaha keras agar sajak yang mereka hasilkan tak menjadi retorika kosong atau ungkapan kering yang klise. Usaha tersebut penting guna memertahankan fungsi puisi sebagai subversi dalam kehidupan kita. Sebab, bila tak menjadi subversi, hendak berfungsi sebagai apa puisi?
Haris Firdaus
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Joglosemar, 22 November 2009
ps: gambar diambil dari sini
Kalau yang reversi itu yang bagaimana?
klo mbah surip gimana mencerminkan keaadaan yang bagaimana mas………
sepakat sob.. bagian subversif akan menjadi sisi pendobrak atas stagnasi yang menghinggapi budaya saat ini..
mencoba merekonstruksi sistem, dan mengenalkan jalan ketiga
puisi ini sepertinya mengalir di satu level di bawah batas sadar manusia..
ia seperti air bawah tanah yang secara tak disadari menghidupi hutan, dan menjaga keberlangsungan air sumur yang dikonsumsi masyarakat.
puisi yang punya daya.
ada juga penyair yang merasa alergi dengan sajak2 protes dan subversif, mas haris. ada yang bilang, masa2 semacam itu sdh berlalu. mereka kembali menjadi pemuja estetika semata.
Puisi adalah ungkapan hati dan jiwa yang kadang tidak terwakilkan oleh perbuatan
salam kenal uiyh. mantap tenan puisinya. sip sip
puisi…bikin puisi yg indah itu sulit ya?
saya kok sudah lupa ya, gimana rasanya nge hayatin puisi sejak lulus kuliah
Setuju , sebab puisi adalah ekspresi hati dan perasaan yang paling dalam.
Selamat Hari Ibu, Natal dan Tahun Baru 2010…
merasakan kunjungan pertama di blog baru
selamat ya mas
keindahan sebuah puisi terletak pada usahanya memenangkan sosialisme, puisi yang menjadi pembebas ditengah situasi kehidupan yang menindas
Yep, saia belum melihat nih puisi2 bernuansa sosial yang biasanya hadir memprotes jaman.
sampai saiki masih misteri juga kematian wiji tukul iku yaw…
subversif oh dasar penguasa
saya bukan penyair. saya sulit memahami estetika puisi. lewat puisi-puisi pamflet-lah saya menikmati jenis seni satu ini. dan terutama, puisi subversi.
puisi itu tidak dicari, cukup pejamkan mata, terbangkan lamunan, tersenyum kegilaan, dan tiduri saja kata-kata. saat hamil, maka akan melahirkan puisi. bagaimana?
terkadang saya ragu puisi adalah bagian dari sebuah imajiner penyair. kadang justru penyair ‘memberitakan’ dirinya dengan puisi.
Puisi subversif? sealunan dengan gerakan (mahasiswa), memang sudah bukan jamannya lagi puisi pamflet. tapi pertanyaannya apakah puisi itu bisa dinikmati oleh stiap pembacanya? Baru-baru ini saya kepikiran itu terus… jangan-jangan puisi hanya ‘bisa dibaca’ sesama penyair. Tidak lebih. Karena terlalu ‘menyembunyikan diri’.