Ini Adalah Kisah Tentang Buku Tak Penting
Pergilah ke sebuah toko buku besar, atau ke sebuah pameran buku, dan Anda akan tahu betapa tak semua buku itu penting untuk dibaca. Sebagian besar buku yang ditulis memang berisi hal-hal yang akan berguna bagi kita, tapi percayalah: selalu ada orang yang menulis tentang hal yang tak penting.
Kepercayaan macam itu muncul dengan kuatnya di hati saya ketika mengunjungi Pesta Buku Solo 2007. Selama tiga hari, saya berturut-turut mengunjungi pameran itu dan menemukan betapa buku tak penting itu juga dijual, bahkan dengan harga yang tak murah. Bayangkan, di sebuah rak buku paling atas dari sebuah penerbit, saya temukan sebuah buku kecil, tipis, tapi berjudul bombastis: “Belajar Menulis Fiksi: 50 Hari Menjadi Penulis Besar” (catatan: saya mungkin saja salah menuliskan judul buku ini. Habis, buat apa juga mengingat judul buku tak penting?).
Tentu saja saya tertawa terpingkal-pingkal meski tidak sampai memorak-morandakan pameran buku itu. Dan Anda pasti tahu apa sebab tertawa saya yang terpingkal-pingkal itu: bagaimana mungkin dengan (hanya) membaca buku kecil tipis yang ditulis oleh orang yang bahkan belum dikenal dalam dunia fiksi Indonesia, kita bisa menjadi penulis fiksi yang hebat? Yang lebih menjengkelkan adalah bahwa penulis buku itu mencantumkan “50 hari” sebagai semacam “jaminan” bahwa dalam waktu yang sebanyak itu Anda akan segera berubah jadi penulis jempolan. Aduh, hai, ini tahun 2007! Masihkah ada orang sinting yang akan mempercayai Anda Pak Penulis buku yang sok tahu?
Dengan bercanda saya berkata pada seorang teman yang menemani ke pameran buku itu: “Yuk sekali-kali kita beli buku macam itu dan taruhan: sampai halaman ke berapa kita sanggup membacanya!” Tentu saja hal itu tak sempat kami lakukan. Kalau seandainya toh nekad saya lakukan, saya akan bertaruh bahwa sejak membaca kata pengantarnya saya akan membuang buku itu ke tempat tidur atau kolong tempat tidur dan memilih bermimpi ketemu gadis cantik yang saya idamkan.
Soal buku tak penting ini masih berlanjut ketika saya masuk ke beberapa stan lainnya. Lihat, betapa banyak buku yang berkata soal “bagaimana sih menjalani hidup sukses”, “bagaimana menyembuhkan sakit hati yang mendera diri pribadi dan menurunkan optimisme Anda” atau “bagaimana menjadi remaja gaul yang bisa apa saja tapi tetap soleh berdasar pandangan agama”. Buku itu dikemas dengan cover menarik dan kemasan yang full colour, halaman yang cantik, kalau perlu dilengkapi gambar-gambar ilustrasi yang memikat.
Tapi sekali lagi, dilihat dari judulnya saja, kita akan sadar betapa buku itu hanya menyentuh soal praktis sehari-hari kita yang mengandaikan bahwa segala masalah, segala persoalan hidup yang kompleks, bisa diselesaikan dengan membaca buku tipis berisi tips-tips ringan yang dikemas dengan kata memikat. Setiap melihat buku-buku macam itu, saya jadi bertanya-tanya: bisakah persoalan sehari-hari kita diselesaikan dengan sebuah panduan ala buku” how to”? Saya jawab tidak!
Tapi siapakah saya? Barangkali hanya seorang pembaca yang tak penting. Dan karenanya, akan kita dapati kenyataan bahwa buku-buku macam itu masih saja membanjiri pasaran buku kita dengan penggemar yang tiba-tiba saja datang entah dari mana. Maka, jangan protes kalau Anda masih menemui buku “bagaimana membaca pikiran laki-laki” atau “bagaimana membuat perilaku Anda menarik hati orang lain di segala lingkungan”. Buku-buku macam itu, agaknya masih akan tersu ditulis dan semoga saja ada yang sudi membacanya dengan tulus, penuh air mata kalau perlu, dan merasa berbahagia seolah telah menemukan surga setelah membaca buku itu.
Tapi, Tuhan Maha Adil. Masih ada deretan buku penting yang layak Anda konsumsi. Buku puisi, novel, cerpen, filsafat, agama, dan beberapa genre lainnya adalah buku-buku yang sebenarnya amat pantas kita nikmat sambil minum teh dan duduk di teras saat malam hari. Buku-buku itu, karena harga yang mahal, atau konsumen yang tak banyak, akan sangat mudah jatuh ke tangan “Yusuf Agency”: sebuah toko buku yang menjual buku lama dengan harga 5 sampai 25 ribu. Meski bagi kita yang berkantong tipis, masuknya buku ke Yusuf Agency adalah sebuah berkah, tapi fenomena ini secara global menunjukkan betapa “manfaat” tak selalu berbanding lurus dengan “tingkat penjualan” sebuah produk. Budaya instan dan ingin “cepat kaya tapi tetap masuk surga dan disayang keluarga” membuat banyak dari kita memilih buku how to “membuat diri kita sukses dunia akhirat tanpa menghilangkan potensi kebinatangan kita”.
Budaya instan itulah yang agaknya membuat buku tips ringan ala seorang juru terang maha hebat menjadi lebih laku dan lebih dicari daripada sebuah novel tebal penuh pertanyaan gelisah dari seorang penulis kelas satu. Yah, kalau dulu Erskine Caldwell menulis dengan duduk berjam-jam di depan mesin tik sambil merasakan kebosanan yang hampir membunuh, sekarang sebagian kita yang ingin jadi penulis instan tinggal buka internet dan meng-copy paste bahan tulisan, ubah sana-sini, lalu kirim ke penerbit yang 50 persen sahamnya milik paman kita.
Haloo, ini tahun 2007 dan Erskine sudah lama tak ada lagi kan?
Sukoharjo, 5 Nopember 2007
Haris Firdaus
Komentar