Surya di Pangkal
utk: Imam Samudra CS
Bagaimana mungkin kita bisa mengahancurkan setan kalau ia ada dalam diri kita?
Pertanyaan itu, saya temukan saat membaca cerpen karya M. Fudoli Zaini, Batu-Batu Setan. Dalam cerita rekaan yang diterbitkan tahun 1994 itu, dikisahkan tentang segerombolan orang yang bersenjatakan lengkap dengan semangat di dada dan niatan membara, berangkat dari sebuah padang luas. Satu tujuan mereka: mencapai sebuah tempat di mana ada segala kenikmatan. Tapi sebelum sampai ke tempat itu, setan harus dihancurkan lebih dulu.
Setan, dalam kisah ini, disimbolkan dalam bentuk tiga batu besar yang berdiri kokoh. Tiga batu itu, tepat berada di tengah jalan, menghadang orang-orang yang ingin mencapai “taman bangsa-bangsa”, tempat ideal itu. Dan ketika rombongan terdepan telah sampai di hadapan tiga batu itu, suara tiba-tiba meriuh. Teriakan menyebut nama Tuhan terdengar. Dan bom, rudal, serta ribuan peluru serasa dimuntahkan dari langit. Rupanya orang-orang itu tak sabar untuk segera menghancurkan setan. Supaya segera tiba di tempat di mana terdapat “restoran bintang lima dengan segala macam makanan yang gratis.”
Tapi setan tak hancur. Setelah serentetan tembakan dan ledakan, yang diakhiri sebuah guncangan hebat, tiga batu itu tetap berdiri tanpa cacat sedikitpun. Sebaliknya, orang-orang telah mati. Bersimbah darah dan berbau anyir. Tinggal seoarang yang disebut sebagai “aku” yang hidup. Ketika ledakan dahsyat terjadi, ia pingsan. Ketika bangun, ia mendapati batu-batu itu masih ada dan “berdiri congkak”. Sementara orang-orang telah binasa karena peluru mereka sendiri. Pada akhirnya, “aku” inilah yang berhasil menghancurkan batu-batu itu satu demi satu. Bukan dengan peluru, mesiu, bom, atau rudal. Tapi dengan senjata yang sama seperti yang digunakan orang saat ke tanah suci dan melempar jumrah: kerikil.
Cerpen ini, barangkali, adalah sebuah “petuah moral”. Terlepas dari boleh tidaknya sebuah sastra menjadi “petuah moral”, cerpen Fudoli Zaini ini tetap mencengangkan saya. Bukan karena “unsur estetisnya”, tapi karena membacanya membuat saya mengalami semacam “pengungkitan ingatan kembali”. Segera saya teringat Imam Samudera. Dalam bukunya, Aku Melawan Teroris, ia berargumen dengan dahsyat soal alasan dan dasar ia meluluhlantakkan Bali.
Sebuah perang suci dan perlawanan terhadap para dajjal, begitu yang saya simpulkan dari membacanya. Alasan Imam Samudera bukan alasan picisan. Ia merangkai “logika sekuler” dan doktrin transedental dengan luar biasa. Dan bangunan kerangka berpikirnya memang luar biasa gemilang sehingga sebuah “pengkhianatan terhadap kemanusiaan” itu seakan-akan menjelma menjadi sebuah tugas suci. Tak heran ia melakukannya dengan suka rela. Juga, dengan perasaan yang sulit dibayangkan orang: bangga.
Sama seperti segerombolan orang dan si “aku” dalam Batu-Batu Setan, Imam Samudera dan kawan-kawannya hendak menuju sebuah tempat ideal. Meski tempat ideal Imam Samudera tak hanya berisi sebuah “hotel bintang lima”—seperti dalam cerita Fudoli Zaini—tapi ada pola yang mirip: buat mencapai surga, kita mesti hancurkan dan bunuh para setan keparat!
Cuma, di mana dan siapa si “setan keparat” itu? Apakah ia sesuatu yang sepenuhnya di luar kita, atau jangan-jangan ia juga beririsan dengan diri kita? Agaknya, Imam Samudera memosisikan dirinya sama dengan “aku” dalam Batu-Batu Setan: seorang yang sepenuhnya bersih, ikhlas, dan tak ada unsur setan. Dalam posisi seperti ini, orang merasa berhak menghakimi. Juga melakukan sesuatu di luar kemanusiaan. Sebab, bukankah kemanusiaan adalah hal yang “pantas” dikorbankan buat sesuatu yang “ideal-transedental”?
Tapi bukan si “aku” yang mengingatkan saya kepada Imam Samudera. Justru saya teringat padanya ketika membaca tentang segerombolan orang yang penuh nafsu menghancurkan setan dalam cerpen itu. Segerombolan orang yang menggunakan bom buat menghancurkan tiga batu setan itu. Tapi, mereka kalah dan mati. Dan batu-batu itu tetap berdiri. Tuhan ada di mulut orang-orang itu, tapi setan ada di tempat yang lebih terhormat dan dalam: hati.
Setahu saya, “setan keparat” yang dimaksud Imam Samudera juga masih ada. Dan mungkin, bertambah kuat. Jelas, Imam Samudera melupakan satu hal yang penting tentang hubungan manusia dengan tatanan moral. Ia seperti para “laskar Tuhan” lainnya, terlalu percaya terhadap kemampuan manusia mencapai “tatanan moral yang agung”.
Padahal, seperti kata Goenawan Mohamad, apa yang akan dicapai oleh Imam Samudera itu adalah sesuatu yang “akan selalu mengimbau seperti surya di pangkal akanan”. Dan konsekuensinya adalah “kita akan selalu mendapatkan hangat dan cahayanya, dan kita akan senantiasa berikhtiar ke sana”.
Cuma, lanjut Goenawan Mohamad, “…mungkinkah mencapai kaki langit itu, menjangkau terang itu, dengan doa, dengan laku, dengan darah, dengan besi sekalipun?” Dalam hidup, mungkinkah kita mencapai “keagungan” itu? Barangkali tidak. Sebab, bukankah hidup, seperti dimaklumkan Chairil Anwar, adalah sebuah proses yang “hanya menunda kekalahan”? Dalam penundaan itu, kita semua tahu, selalu “ada yang tetap tidak diucapkan”. Selalu ada yang tidak selesai. Tapi, karena itu pula, barangkali, kita perlu “hidup seribu tahun lagi”. Juga, tidak dengan besi.
Haris Firdaus
(gambar diambil dari sini)
mari :
hidup seribu tahun lagi, yang tidak dengan besi, tapi.
meski, setelah seribu tahun itu, masih saja -ada yang tetap tidak diucapkan-
begitu ?
Betapa egoisnya Imam Samudra cs, seolah surga hanya milik golonganya.
Yang saya takutkan adalah munculnya Imam S baru, yang – bodohnya – menganggap Indonesia sebagai battle field.
Imam Samudra cs hanyalah cerminan dari begitu kerasnya dunia Islam dengan hukumnya. Jika mereka menganggap hukuman mati itu terlalu kejam, saya justru menganggap hukuman rajam lebih tidak manusiawi.
ah, kalau lihat si amroji dkk ini jadi menggumam sendiri.
betapa jauhnya akal dengan hati.
coba dia baca tulisan ini dan cerpen itu ya…(puit
to: el
ya begitu. hidup seribu tahun pun tak menjami bahwa hidup tak akan menemu kekalahan kan? apalagi sekadar tak sempat mengucap sesuatu. tragis ya? he2.
to: dony alfan
kepada mereka, kita tak bs bilang ttg egoisme, mas. mereka selalu merasa sbg “utusan Tuhan” dan status itu membuat kategori “egois atau tidak” menjadi tak berlaku.
to: fajar
dunia Islam dengan hukumnya yang kejam? ah hati2 mengeluarkan klaim macam ini. hati2, kawan. karena kita bs terjebak pada pola pikir kita sendiri yang sok benar.
to:senja
menurut ukuran kita, akal dan hati mereka memang jauh. tapi berdasar doktrin2 yang telah mereka lahap, persoalannya bisa jadi lain, senja. sangat lain.
to: puitri
ha2. masak mereka mau baca blog segala? tapi aneh juga ya kalo misal permintaan terkahir mereka sblm mati adalah ngenet?he2.
bagi amrozi cerpen itu haram, hehehe…
eh kalau tak salah ingat, ada teori psikologi yang mengatakan kalau kebencian yang sangat atas sesuatu membuat “bawah sadar” kita justru berjalan ke arah kebencian itu, mengikuti. amrozi tak diragukan lagi amat sangat membenci syeitan, dan alam bawahsadarnya justru menggerakkannya untuk berjalan ke arah dan laku yang sama…
to: rumahputih
ha2. betul. cerpen haram. kalo blog haram juga gak ya?ha2.
betulkah ada teori psikologi macam itu? membenci sesuatu justru membuat kita mengikutinya? dlm kasus amrozi, mngkn saja. jadi kita gak blh terlalu benci ma syetan dunk mas? ha2.
Setan keparat itu adalah setan yang tak tau aturan…
lha wong setan kok dikon nganggo aturan??? piye tho kik?
tidak ada itu yang namanya jalan pintas ke surga 😀
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah sedang berada dimana mereka? Surga atau Neraka? ketik reg spasi teroris kirim ke 9288 untuk tau jawabannya, 10 pengirim pertama dapet kiriman bom cantik…ayo buruan…hehehehe
ada ungkapan lama, “musuh dari musuhku adalah temanku”, orang-orang yang terlibat dalam perang itu sama-sama menganggap musuhnya setan..lalu siapakah musuh dari musuhku?
jangan-jangan semua yang bertikai itu telah berteman setan
lalu siapa musuhnya setan?..hehehe.
*kutipan dari dialog dalam film “the predator”
to: ciwir
….:)
to: koboi urban
ya ya tak ada jalan pintas utk sesuatu seagung surga kan?
to:tukang gunem
kamu aja yang kirim duluan, bro! he2.
to:wonka
musuhnya setan? ya malaikat. kalo kita sbg manusia ya gak jelas tuh. ha2
Setan tidak hanya seiris dengan hati, tapi segumpal, begitu pula Tuhan. Jadi, menghancurkan Setan tidak lebih menghancurkan Tuhan.(menurut kendaraan saya….) Apapun dokrin yang dibawa, hanyalah hati manusia: ingin menguasai atau gusar kalau-kalau dikuasai…awalnya.