Bagaimana Para Abege Itu Bertahan Hidup
Kalau anda berkunjung ke Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, barangkali anda akan mengambil kesimpulan yang sama dengan saya bahwa sinonim bagi abege saat ini ada dua. Pertama, berpacaran. Kedua, kaos ketat yang pada suatu kali—kalau anda beruntung—seringkali memperlihatkan celana dalam pemakainya.
Saya sedang bercanda sekaligus serius. Sebab, saat dalam sebuah perjalanan lewat di Kecamatan Montong yang dipenuhi hutan jati tandus dengan pegunungan kapur yang menjulang dan menutup kanan-kiri jalan rayanya, saya tetap saja melihat pemandangan yang tak jauh beda dengan apa yang sering saya lihat: abege-abege berkumpul, berpasangan cewek cowok, memakai kaos-kaos ketat yang seringkali mereka paksa tarik terus ke bawah dengan tujuan tertentu, sambil bercanda, dan ngobrol entah dengan topik apa.
Duh, padahal di tempat itu HP saya saja tak mampu berkutik karena kehabisan signal, tapi mereka—abege-abege itu—seolah tak mencerminkan beda yang jauh dengan sebaya mereka di kota-kota yang sering saya temui. Dari mulai cara memakai topinya sampai gaya berboncengannya, saya tak melihat sebuah beda yang berjarak amat jauh. Jangan-jangan, semenjak lahir memang abege-abege jaman sekarang sudah disuntik sebuah serum yang memungkinkan mereka semua memakai kaos dan membonceng motor dengan cara yang sama antara satu dengan yang lainnya!
Tapi bagaimanapun miripnya para abege itu dengan sebayanya di kota, institusi sosial yang melingkupi pergaulan mereka toh tetap saja beda. Mereka bisa ngobrol dengan cara dan topik yang sama atau berpakaian dengan logat yang mirip, tapi tempat mereka berkumpul, fasilitas yang mereka pakai buat bergaul, atau bahkan kualitas dari pakaian dan aksesori gaul mereka pun sebenarnya berada dalam gradasi yang beragam.
Dan begitulah agaknya: saya lihat abege-abege di Montong itu berkumpul bukan di kafe atau halaman sebuah taman, tapi di sebuah obyek wisata yang amat merakyat. Dan apa yang saya sebut sebagai “obyek wisata yang amat merakyat” itu adalah sebuah kolam, semacam pemandian umum—atau tempat cuci apapun di mana kita bisa menemukan motor, karpet, atau badan yang sedang dicuci—yang airnya hampir tandas sampai dasar, dengan pohon-pohon yang jarang dan oleh karenanya sangat panas, dan jalanan berupa tanah gersang yang turun naik.
Di tempat itulah abege-abege berkumpul dan memamerkan simbol-simbol kebanggan mereka: motor, pacar, kaos baru, topi keren, dan lain-lain. Di lain tempat di kecamatan itu, kita bisa menemukan pemandangan yang teramat ganjil: di bawah pohon jati yang daunnya meranggas hingga tinggal satu-dua, dua abege laki-perempuan duduk berdekatan, ngobrol dengan mesra, sambil tersenyum, atau sesekali berpegangan tangan. Bagi anda yang terbiasa dengan nyamannya gaya berpacaran kota, barangkali pemandangan demikian tak terbayangkan.
Tapi begitulah. Anak-anak muda memang selalu menemukan sebuah solusi dari keadaan yang menghimpitnya. Kalau di sekitar tahun 1998 kita menemukan anak-anak muda yang mahasiswa dan aktivis menyiasati sensor ketat media oleh orde baru dengan media-media bawah tanah macam website dan milis, kini kita akan menemukan bahwa anak-anak muda saat ini menemukan solusi atas terbatasnya tempat pacaran atau minimnya uang untuk belanja aksesori penunjang gaya hidup.
Di sinilah saya kira sebuah subtitusi menjadi bagian penting dari salah satu “cara bertahan hidup” para abege di “pedalaman”. Kalau mereka tak mampu membeli kaos mahal dengan merek terkenal, maka beli saja bajakannya yang juga memampang merek yang sama dengan yang asli atau yang dipelsetkan sedikit. Kalau tak mampu bepergian ke tempat-tempat wisata yang “keren” maka wisata yang “kere” pun tak masalah. Dan kalau tak menemukan area pacaran yang nyaman buat berdua-duaan, di bawah pohon jati meranggas pun tak apa.
Begitulah daur hidup mereka saya kira. Mereka melihat sebuah percontohan lewat media massa—yang tentu saja kebanyakan televisi—lalu secara tak sadar atau sadar menempuh strategi tertentu agar tercapai sebuah sinergi antara keterbatasan mereka dengan gaya hidup ideal yang ingin dicapai. Strategi itu adalah dengan melakukan semacam “penggantian” terhadap hal-hal dari gaya hidup ideal yang tak mungkin mereka capai dengan hal-hal yang ada di sekitar mereka yang mereka asumsikan memiliki berbagai kemiripan—minimal secara fungsional—dengan hal-hal ideal tadi.
Maka, kafe bisa diganti warung, taman bisa diganti hutan pohon jati, dan wahana hiburan modern yang sejuk bisa disubtitusikan dengan pemandian umum yang panas dan airnya mepet. Dalam hal ini, mereka bisa dianggap melakukan semacam “perlawanan” juga meski kadang tanpa mereka sadari. Mereka mengadaptasikan gaya hidup yang mereka contek di televisi yang serba gemerlap dan glamour dengan kondisi sosial mereka yang pas-pasan, udik, dan “nggak banget” itu.
Ya, “perlawanan” tadi memang selalu terjadi karena—kalau kalau kita percaya bahwa—dalam konsep hegemoni Antonio Gramsci pun ternyata terkandung sebuah pemahaman bahwa bukan hanya budaya dominan dan berkuasa saja yang akan mempengaruhi budaya minoritas, tapi juga sebaliknya. Budaya yang tak dominan pun bisa saja balik mempengaruhi budaya dominan yang hendak melakukan penetrasi lalu menguasai. Justru konsep terpenting dari hegemoni saya kira adalah sebuah kepercayaan bahwa hegemoni tak mungkin terjadi kalau tidak ada situasi timbal-balik antara budaya yang dihegemoni dan budaya yang menghegemoni.
Karena ada persambungan antara dua budaya tertentu maka hegemoni bisa terjadi. Tanpa persambungan dan timbal-balik itu—yang memang sangat mungkin berlangsung dalam situasi yang tidak imbang—maka hegemoni suatu budaya atas budayalainnya akan sangat mudah ditolak.
Saya kira, demikianlah para abege itu “bertahan hidup”.
Sukoharjo, 23 Oktober 2007
Haris Firdaus
Menarik, mas Haris…
Saya jadi teringat Daniel Quinn (seorang novelis Amerika), dia pernah berkata; “bagaimana segala sesuatu menjadi seperti sekarang.” Eh, gak nyambung yah, mas! 😀
yah, begitlah filantropy.sebuah pemndangan nan aneh