Potret Sastrawan Sebagai Megalomaniak
Menghadiri peluncuran Buku Kumpulan Cerpen “Samin” karya Kusprihyanto Namma pada Selasa (30/10) kemarin, saya berfirasat bahwa pembahasan mengenai buku itu akan jadi tak menarik. Entah kenapa sejak awal saya tak terlampau tertarik dengan nama pengarangnya dan alasan saya hadir pun lebih banyak buat hal-hal lainnya.
Acara peluncuran buku yang digabung dengan “slup-slupan” Rumah Sastra-nya Buletin Pawon Sastra itu diawali dengan pementasan cerpen Kusprihyanto oleh kawan-kawan Teater Peron FKIP UNS. Pementasan sederhana yang berusaha memparodikan banyak hal itu, saya kira, tak terlampau berhasil. Sejak awal saya melihat ekspresi yang kaku dan canda yang kering. Tapi biarlah, sebagai sebuah pembuka sajian, pementasan itu cukup menyemarakkan suasana yang malam itu dingin.
Setelah pentas selesai, moderator dan pembicara maju. Hans Gagas didaulat jadi moderator. Di sampingnya, dua pembicara hadir: Yant Mujiyanto (Dosen FKIP UNS) dan Indah Darmastuti (Novelis Solo). Pembicaraan dimulai Indah dengan amat panjang. Indah banyak memuji Kus dan bahkan membandingkannya dengan Umar Kayam. Mendengarnya, saya kok tak terlampau yakin. Entahlah, meski belum membaca “Samin”, tapi membandingkan cerpen-cerpen di sana dengan karya Umar Kayam hanya karena sama-sama membahas “desa dan Jawa” saya kira tak pas. Umar Kayam adalah pengarang yang tekun pada sosiologi hingga beberapa pengamat sempat kecewa dengan karyanya yang “terlalu sosiologis”. Tapi, benarkah Kus peduli dengan sosiologi sebesar Umar Kayam?
Yant Mujiyanto tak beda jauh dengan Indah. Ia memuji banyak hal dari “Samin”. Latar desa yang diangkat Kus, kata Yant, penting untuk dibaca oleh manusia-manusia yang sebenarnya berasal dari desa tapi kini merantau ke kota. Suasana desa dalam cerpen Kus, diandaikan mampu menimbulkan efek nostalgis tertentu pada pembacanya. Yant membandingkan Kus dengan Ahmad Tohari. Pembandingan ini, sekali lagi, terlalu berat. Sebab Tohari terbukti mampu setia pada detail budaya desa yang bahkan tak banyak yang orang tahu. Tapi Kus, adakah ia sudah “sedalam” itu?
Setelah dua pembicara selesai, waktu telah malam. Beberapa penonton yang didaulat menanggapi menolak. Pada titik ini, saya merasa diskusi akan jadi mati. Tapi nyatanya tidak. Ada Titus, pegiat Forum Pinilih Solo, yang kemudian masuk dalam obrolan dengan kopiah hitam, baju batik, dan sebatang rokok di tangan. Seperti biasa, ia membongkar argumen-argumen pembicara yang dianggap kurang masuk akal. Titus dengan gamblang mengatakan bahwa cerpen Kus menarik hanya karena satu hal saja: ia sederhana! Maka, cerpen-cerpen seperti itu tak perlu dibebani dengan penafsiran-penafsiran yang seolah membuat cerpen sederhana itu menjadi canggih.
Cerpen Kus yang banyak berkisah tentang perlawanan masyarakat desa terhadap pemerintah orde baru, kata Titus, sebenarnya tak banyak beda dengan cerpen-cerpen yang dihasilkan pada jaman akhir 1990-an sampai awal 2000-an. Kini, ketika orba tumbang, para cerpenis “pelawan orba” itu bingung membangun eksistensinya karena secara naif eksistensi mereka sebenarnya dibangun oleh penolakan mereka terhadap orba. Ketika yang merek tolak telah tiada, mereka pun ikut tiada.
Ketika Titus mulai bicara, diskusi jadi lebih panas. Dwiha, seorang mahasiswa UNS yang dekat dengan Kus mulai bicara. Ia dengan terus-terang mengatakan bahwa Kus adalah seorang pribadi yang menyukai sensasionalitas. Kesukaan pada hal-hal sensasional ini menemui bentuknya ketika hari itu Kus mengadakan peluncuran cerpen di 14 kota di seluruh Indonesia, termasuk Solo. Dwiha menyayangkan pilihan yang diambil Kus. Ia menganggap bahwa ketakhadiran cerpenis membuat pembahasan cerpen menjadi mandek. Meski tak sepenuhnya benar, kegalauan Dwiha terhadap “sensasi” Kus bisa dimaklumi.
Setelah Dwiha, Wijang Wharek masuk dalam obrolan. Sebagai orang yang juga dekat dengan Kus, Wijang mengurai latar belakang diadakannya peluncuran di 14 kota itu. Salah satunya, yang paling menarik jika dihubungkan dengan fenomena sastra mutakhir adalah untuk melawan dominasi Teater Utan Kayu (TUK). Sembari melawan, Kus juga berusaha membangkitkan kembali “Revitalisasi Sastra Pedalaman”. Saya hanya tertawa kecut karena ternyata Kus hendak mencoba ikut berpolemik secara langsung. Meski nama cerpenis itu memang ada dalam barisan Redaktur Jurnal Boemipoetra yang menyerang TUK, Kus sebenarnya kurang terdengar gaungnya dalam polemik itu. Kalah dengan Saut dan Wowok.
Apa yang menarik dari omongan Wijang adalah sebuah pernyataan bahwa seorang seniman adalah seorang yang menyukai hal-hal sensasional. Jangan-jangan, katanya, semua seniman adalah seorang narsis yang megalomniak! Wow, ini baru pendapat berani. Ya, saya kira, dalam beberapa hal, pernyataan Wijang ada benarnya. Seniman-seniman kita memang menyukai “sensasi”. Tapi “sensasi”, kata Nasirun, juga tak salah. Selama tak menjahati orang, kata Yant, maka sensasi boleh-boleh saja. Saya kira, sikap permisif terhadap sensasi di kalangan sastrawan ini bisa muncul karena memang sastra Indonesia dibangun oleh hal-hal yang sifatnya sensasional. Apalagi sejak periode 2000-an di mana Ayu Utami dan Dewi Lestari mulai booming. Yang mem-booming-kan mereka, setahu saya, bukan telaah sastra yang serius, tapi sensasi-sensai yang kebanyakan merupakan hal-hal di luar teks mereka.
Saya sendiri bingung. Di satu sisi, kenyataan mengajarkan bahwa sensasi adalah juga merupakan bumbu mujarab dalam memperkenalkan sastra. Tapi di sisi lain, sensasi tetap saja kelihatan sebagai sesuatu yang aneh dalam kesenian termasuk sastra. Bukankah sastra berurusan dengan “hal-hal yang dalam” dan sensasi hanya omong kosong dari “hal-hal dangkal”?
Paradoks itu makin tambah panjang kalau kita melihat para penulis besar kita seperti Pramoedya yang ternyata tak luput dari “produksi sensasi massal” tentang karya dan dirinya sendiri. Bahkan, penulis-penulis besar dunia pun konon harus memoles dirinya dan menciptakan mitos-mitos sensasional agar ia bisa terkenal dan bertahan.
Duh, sastra, sastra, kenapa kau membingungkan?
Sukoharjo, 31 Oktober 2007
Haris Firdaus
Komentar