Realisme yang Lugu, Cinta, dan Lain-lain
(Membaca Antologi Puisi Pendhapa 5)
Penyair yang hanya menyekatkan perhatian pada dirinya sendiri, kata Subagio Sastrowardoyo, tak akan menghasilkan sajak yang cukup berarti. Penyair yang sibuk dengan perasaan, emosi, dan pikirannya sendiri pada akhirnya hanya akan menulis sedu-sedan dan keluh-kesah saja. Sebuah sajak yang cukup berarti dihasilkan ketika seorang penyair menyadari bahwa ia bukan subjek satu-satunya di dunia ini, dan otomatis ia mesti menautkan diri dengan dunia di luar dirinya.
Tapi penautan dengan dunia luar harus “dijaga” agar si penyair tak menjadi juru terang atau pengkhotbah yang membosankan. Dunia di luar penyair—sekali lagi meminjam Subagio—harus dijadikan sebagai alat yang memerluas kecintaan dan perhatian pada diri sendiri menjadi sikap cinta pada kepentingan yang lebih luas. Meski begitu, kecintaan terhadap dunia luar itu tak boleh menjadi sikap “maha tahu” yang kering.
Penyair, seperti pernah disebut Sapardi Djoko Damono, bukanlah mereka yang menjelaskan kebajikan. Penyair sekadar bertugas “mengantar” pembaca pada persoalan lalu meninggalkan pembaca itu sendirian di sana. Memakai cara pandang yang demikian, puisi adalah sebuah ikhtiar menghadirkan pertanyaan tanpa jawaban yang pasti dan muluk-muluk. Tapi yang perlu diingat: “ikhtiar menghadirkan pertanyaan” itu adalah sebuah ikhtiar yang melibatkan estetika. Tanpa estetika, puisi sebaiknya diganti namanya menjadi pamflet.
Cara pandang seperti itulah yang hendak saya pakai untuk membaca Antologi Puisi Pendhapa 5: Temu Penyair Antar Kota yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) pada April 2008 lalu. Antologi ini memuat puisi karya 18 penyair dari berbagai kota: Solo, Karanganyar, Sragen, Brebes, Pekalongan, Kudus, Purwokerto, Cilacap, Purbalingga, Wonogiri, Yogya, Semarang, Wonosobo, dan Blora.
Pamflet dan Realisme yang Lugu
Pembacaan ini akan saya mulai dengan puisi karya Ciu Cahyono. Puisi Ciu perlu disebut paling awal karena karyanya meruapkan ciri khas yang tegas dan jelas: menjadi pamflet. Ya, puisi Ciu Cahyono yang kebanyakan panjang-panjang itu memang menggunakan kata-kata yang terang, tanpa tedheng aling-aling, sedikit banyak berbau moralis, dan bersemangat dalam memberi petuah. Ciu memang berhasil menautkan kesadaran dirinya dengan kepentingan di luar dirinya tapi ia “terjebak” menjadi “juru terang”: sebuah “profesi” yang seharusnya dihindari ketika kita menulis puisi.
Puisinya yang berjudul “Sajak Bagaimana” memang mengungkap tanda tanya tapi pertanyaan itu tak dihadirkan dengan cara yang estetis. Pertanyaan itu sekadar disampaikan dengan bertubi-bertubi, dengan sedikit modifikasi kata, tapi tetap saja membosankan. Simak petikannya: Bagaimana negeri ini bisa kaya/ Jika korupsi jadi menu utama/ Bagaimana negeri ini bisa adil dan merata/ Jika penguasa dan pengusaha main mata/ Bagaimana negeri ini bisa senatausa/ Jika anak sekolah membolos demi narkoba/ ….//
Menulis “puisi pamflet” tentu saja boleh dan wajar saja tapi penyair yang memutuskan hal itu mesti pandai melakukan “penyiasatan” agar puisinya tak menjadi retorika kosong. Selain Ciu, dalam antologi ini ada penyair lain yang sajak-sajaknya berbau pamflet, yaitu Lebe Penyair. Bedanya, Lebe ternyata lebih bisa memainkan “siasat” agar kata-katanya tak menjadi deretan semangat yang tanpa makna.
Dari beberapa puisi Lebe dalam antologi ini, “Zombi Sajak Pantura” menurut saya adalah yang terkuat. Melalui puisi itu, Lebe mengundang banyak teks lain untuk melakukan dialog dengan diri dan puisinya. Simak bait yang bagus ini: Zombi benua hitam reinkarnasi/ Kepingannya mewujud – dzuriyat:/ Pada Rumi menjelma matsnawi/ Pada Chairil tersampir Deru Campur Debu/ Pada Sutardji tersangkut O Amuk Kapak/ Dan bermuara Zombi Sajak Pantura/…//
Sama dengan Ciu dan Lebe, puisi karya Arif Hidayat juga sedikit banyak meruapkan bau pamflet meski tak menggebrak. Simak “Sedang Menulis Puisi”: Indonesiaku sedang menulis puisi/ seperti menyulam luka/ penuh penghayatan terhadap bencana/ dengan nafas tertahan waktu/ kenangan tentang 350 tahun/ tetapi, buku sejarah itu berdebu/ malam menjadi terbatuk-batuk/ di antara kenangan tanah//…//
Nada dasar dari pamflet adalah realisme yang lugu. Realisme seperti itulah yang juga terasa dalam sajak Asa Jatmiko, “dunia pelacur”, meski di sana tak ada petuah—sesuatu yang memberi nilai lebih pada Asa: pernah, dan mungkin masih/ di rembang petang/ kerlap-kerlip lampu disko/ diiringi irama ndangdut dari tape recorder jangkrikan/ bagai berpasang mata/ memangil-manggil/ “hai asa, mampir dong!/ kita ngobrol/ bersama sebotol oplosan bir dan congyang/ kacang dan tahu susur milikku/ ketrampilan kecil hasil warisan ibuku/ ibuku mewarisinya dari nenekku/ jangan remehkan nenekku/ ia selir seorang mantan bupati pesisir.”//….//
Catur Mulyadi memiliki kemiripan dengan Asa: ia juga menulis dalam nada dasar realis tapi tak selamanya berkehendak memberi khotbah. Catur melukis keadaan kadang dengan cara yang naif, amat polos, apa adanya, dan tidak dibuat-buat: Terisish di pinggir wangan/ Memelas raut wajah/ Di bawah lampu 5 watt/ Dalam ruang/ Cukup berteduh panas dan hujan/ …/ Terbayang lampau/ Gagah dan perkasa/ Semalam seribu bahagia/ Sewaktu seribu langkah/ Sekarang sisa kenang/ Terhanyut rasa bersalah/ …// (Puisi “Gubug Muda Penghuni Tua”).
Cinta
Selain realisme puisi yang lugu, puisi cinta ternyata juga bertebaran di Antologi Pendhapa 5. Subagio sendiri pernah mengatakan bahwa cinta adalah tema yang terus berulang dalam sajak karena tema itu lekat dengan sikap batin penyair dalam mengungkapkan kesadarannya yang paling dasar. Cuma, justru karena tema cinta selalu berulang itulah maka menulis puisi cinta yang bagus adalah sesuatu yang susah dikerjakan.
Agus Bakar menulis puisi cinta yang penuh penolakan, dengan sekian metafora yang tak terlampau luar biasa: …Aku tak ingin mencintaimu lagi. Meski dulu aku adalah/ hamparan tanah yang menyerah pada runcing-runcing jarum-jarum hujan./ Tubuhku rela disergap basah; tubuhku rela berbaur/ aromamu. Karena kala itu aku percaya, tanah adalah lautan/ pasrah menerima basah hujan. Dan tak ada lagi yang bisa memahami cinta hujan selain tanah.// …// (Sajak “Cinta Tak Lagi Sebagai”).
Alfiyan Harfi menulis puisi cinta yang terlalu umum: Aku melihat sungai/ mengalir di wajahmu/ Udara adalah kulitmu/ Dan matamu kulihat/ pada segala yang kulihat:/ Serupa cermin yang murni// Sekali kau berkata padaku/ Lewat bunga yang mekar/ Serupa merah bibirmu/ Serupa keabadian/ yang jatuh ke dalam waktu// …// (Puisi “Cinta yang Tersembunyi”).
Gunawan Tri Atmojo menulis kisah cinta dengan latar persetubuhan dengan metafora yang ia ambil dari alam. Puisinya “Fragmen Persetubuhan” seolah hendak mencoba mengaitkan cinta, senggama, dan alam meski tak cukup berhasil karena dua yang pertama ternyata jauh lebih dominan. Simak narasi cinta Gunawan yang “penuh nafsu” ini: …/ akulah pengembara di relung sunyi/ pada tubuh perempuanmu aku berhenti/ segala dahaga kutuang ke jurang vagina/ pada tubuhmu air suci berahi/ membabtisku jadi laki-laki// …//
Berbanding terbalik dengan “Fragmen Persetubuhan”-nya Gunawan, “mawar kesepian”-nya Edhie Prayitno Ige adalah narasi tentang cinta yang sepi dan liris: …/mawar yang kesepian/ tertunduk sendirian/ simpan hati kering, menanti tetesan embun/ : pernikahan//. Puisi ini memakai metafora yang amat lazim—bahkan cenderung klise—dalam perpuisian Indonesia modern: mawar.
Jusuf AN, dalam puisi “Cinta Tanpa Kepala”, mengisahkan tentang kesulitan yang dialami seseorang ketika hendak melupakan kekasihnya. Tema macam ini, saya kira, bukan sesuatu yang baru. Jusuf pun tampaknya tak banyak melakukan “modifikasi” atas tema itu: kamu datang lewat jendela/ kemudian meledakkan kepalaku tiba-tiba/ sementara untuk melupakanmu/ sesu
kar menghentikan ombak/ seribu kali teriak/ menyisa serak yang sesak// ….//.
Beberapa penyair lain seperti Mutia Sukma, Restu Kurniawan, Rudiana Ade Ginanjar, dan Teguh Trianton juga menulis sajak cinta dalam nada dasar yang tak jauh beda dengan banyak sajak cinta lain: menggunakan kata sebut “kau-aku”, merendahkan diri di hadapan orang yang dicintai, dan cenderung hiperbolis dalam memberi penanda pada subjek yang dijadikan “sasaran” sajak cinta itu.
Lain-lain
Yuswinardi merupakan penyair yang cenderung melakukan eksperimen terhadap puisi. Ia menggunakan benda-benda sehari-hari sebagai sunjek utama dalam sajaknya, menggunakan topografi yang cenderung menyamping, serta terlihat mencoba menggunakan bahasa sajak yang “berbeda”. Tapi salah satu sajaknya, “Televisi”, justru terlihat kedodoran karena bahasa yang digunakannya terlampau “terang”: Mungkin hidup diciptakan dari televisi. Bermacam mimpi berjejalan. Bermacam keajaiban bertubrukan. Bermacam cinta bertemu dan makan malam. ada janji didalam perutnya yang selalu lapar. Ada air mata yang netes bergetar….
Puisi-puisi Bhre Wijaya dan DAW Riyadi meruapkan bahasa-bahasa personal yang liris, dengan nada yang cenderung “gelap”. Keduanya seperti menuturkan banyak hal dalam puisinya tapi yang terlihat sebenarnya cuma rangkaian kisah dan pernyataan personal yang sangat mungkin kita cari relasinya dengan kondisi biografis dua penyair itu.
Sementara itu, dalam puisi “Requiem Untuk Tuhan”, Yunanto Sutyastomo memberi narasi tentang kondisi eksistensi manusia yang lepas dari sebuah dasar yang paling elementer: Tuhan. Dengan lembut dan penuh suasana muram, Yunanto mengisahkan “requiem” itu: Kini bergegas pulang/ Terkejar gerimis malam/ Tertinggal requiem di kota/ Meninggalkan Tuhan yang terlelap//.
Haris Firdaus
Komentar