Kelahiran Kembali Si Burung Kondor
Jose Karosta, penyair yang bersemangat itu, akhirnya bernasib seperti burung kondor: terasing dan kesepian. Di tengah hiruk pikuk revolusi, suaranya tak lagi didengar dan pendapatnya ditampik. Perannya dalam ramai-ramai pergantian rezim pemerintahan itu hanya satu: menjadi martir yang dimanfaatkan pihak lain. Seperti burung kondor dalam sajak WS Rendra, Jose akhirnya “bergerak menuju gunung tinggi, dan di sana mendapat hiburan dari sepi.”
Sekitar 38 tahun lampau, Rendra menciptakan tokoh Jose Karosta dalam dramanya yang kontroversial, Mastodon dan Burung Kondor. Jose, yang selalu memakai kaos tanpa lengan, jeans belel sobek-sobek, dan syal, adalah penyair yang menaruh perhatian tinggi pada pelbagai masalah masyarakatnya. Puisi-puisinya bukan kata-kata indah yang bertabur bulan dan bintang, tapi rangkaian kritik terhadap pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi minus kesejahteraan rakyat.
Pada 11-14 Agustus lalu, melalui pementasan ulang Mastodon dan Burung Kondor yang disutradarai Ken Zuraida, Jose hidup kembali. Dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pertunjukan ini adalah bagian dari rangkaian peringatan dua tahun meninggalnya WS Rendra. Terdiri dari segelintir pegiat Bengkel Teater, serta sejumlah pemain muda dari berbagai kota, kelompok yang menggawangi pentas ini disebut sebagai Ken Zuraida Project. Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Arif Budimanta, menjadi produser eksekutif pentas ini, sementara aktivis 1980-an Amir Husin Daulay menjadi project director.
Menurut Ken Zuraida, pementasan ulang ini bisa dikatakan sangat mirip dengan naskah asli karya Rendra. “99% sama dengan aslinya,” ujar isitri ketiga Rendra tersebut saat ditemui seusai gladi resik pentas ini, Rabu pekan lalu. Menurutnya, ia sengaja tidak melakukan banyak perubahan untuk menguji seberapa jauh karya Rendra bisa bertahan dalam jangka panjang. “Saya mau uji coba juga, apakah karya Rendra universal atau tidak,” ungkapnya.
Mastodon dan Burung Kondor adalah salah satu karya teater Rendra yang legendaris. Proses pembuatan naskah ini dicicil antara 1971-1973. Sebelum diangkat kembali oleh Ken Zuraida Project, karya ini hanya dipentaskan tiga kali antara November-Desember 1973 di tiga kota, yakni Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Pementasan di Yogyakarta sempat dicekal karena dianggap terlampau keras mengkritik pemerintah. Berkat jaminan dari seorang petinggi tentara masa itu, pentas ini berhasil dilaksanakan.
Walaupun ceritanya sangat mirip dengan kondisi Indonesia pada 1970-an, Mastodon dan Burung Kondor sebenarnya berlatar sebuah negara di Amerika Selatan. Kondisi negara-negara Amerika Latin kala itu memang sedikit banyak mirip dengan Indonesia: pembangunan ekonomi berjalan tapi dampaknya terhadap kesejahteraan sosial rakyat kecil hampir-hampir nihil.
Untuk ukuran dekade 1970-an, di mana Soeharto sedang gencar mencapai stabilitas politik, cerita Mastodon dan Burung Kondor bisa dikatakan sangat keras dan berani. Secara garis besar, pertunjukan ini berkisah tentang sebuah negeri yang dipimpin diktator bernama Kolonel Max Carlos. Max Carlos bisa jadi adalah representasi dari Soeharto: keras, militeristik, dan menghalalkan segala cara demi tercapainya “tujuan pembangunan”. Dalam pentas ini, simbol mastodon—gajah purba berukuran raksasa—mengacu pada Carlos.
Sementara, burung kondor—jenis burung yang hidup di pegunungan benua Amerika—merupakan simbol rakyat tertindas, dan terutama merupakan simbol Jose Karosta, penyair melankolis yang mengkritik cara Carlos memimpin melalui puisi-puisinya. Selain Carlos dan Karosta, tokoh sentral pentas ini adalah Juan Frederico, seorang ekstrimis yang berniat menumbangkan Carlos melalui revolusi bersenjata.
Meski sama-sama tidak menyukai kepemimpinan Carlos, Jose Karosta berbeda pandang dengan Juan Frederico. Bagi Jose Karosta, perubahan melalui revolusi tak akan pernah mencapai hasil maksimal. “Aku percaya pada jalannya perubahan yang berdasarkan perkembangan kematangan kesadaran. Perubahan mendadak yang ditimbulkan revolusi hanya akan menghasilkan perubahan semu,” katanya. Dengan sikap ini, Karosta akhirnya tersingkir dari gelanggang revolusi, menjadi semacam burung kondor.
Pementasan ulang Mastodon dan Burung Kondor ini bisa dikatakan sangat menarik. Nuansa naskah asli Rendra berhasil membawa penonton ke dalam imajinasi kondisi sosial politik yang represif di zaman Orde Baru. Meski kritik sosial dalam pentas ini sangat banyak dan keras, kita hampir-hampir tidak menemui klise buruk seperti yang tertebar dalam banyak pentas teater lainnya. Dalam hal ini, kemampuan Rendra mengolah kata memang harus diakui.
Untungnya pula, rata-rata aktor dalam pertunjukan ini bermain cukup baik, termasuk Totenk Mahdasi Tatang yang mengemban peran berat menjadi Jose Karosta. Totenk punya beban berat karena pada pementasan tahun 1973 Rendra sendiri yang berperan sebagai Karosta. Meski suara Totenk agak cidal sehingga terkesan kurang berwibawa, ia bisa cukup rileks dan tidak lebay memerankan Jose Karosta. Ini pula yang akhirnya membuat pentas ini bercahaya. Agaknya, kita mesti mengucap selamat pada Ken Zuraida atas keberhasilannya melahirkan kembali naskah legendaris yang lama tertidur ini.
Haris Firdaus
foto diambil dari sini
review yang mantab, mas haris. “Mastodon dan Burung Kondor” merupakan salah satu repertoir masterpiece alm. rendra yang mendapatkan banyak pujian di negeri orang, meski di negeri sendiri nasibnya kurang beruntung. untunglah semangat mbak ken zuraida tak pernah luntur utk menghadirkan karya2 alm. suaminya.
Takjub pada ulasannya yang luar biasa..
Tak kalah takjubnya dengan WS Rendra..