Dekat
Untuk Bagus Dwi
Bagaimanapun juga, meski fisikmu jauh, tapi nama dan semangatmu terasa dekat. Memang kita sering mendengar ungkapan itu: seseorang yang telah tiada pun bisa dikenang dengan baik. Tapi, ada yang lain dalam kasusmu. Sebab ketika kau pergi, sebenarnya kami tak cukup mengenalmu. Sebagian dari kami memang mengenalmu dengan baik. Sebagian yang lain hanya pernah bertemu fisik denganmu beberapa kali. Sebagian yang lain, bahkan tak pernah bertemu denganmu. Golongan yang terakhir ini hanya mendengar tentangmu dari media massa dan cerita-cerita.
Tapi nama dan semangatmu tetap saja terasa dekat. Bukan hanya bagi yang mengenalmu dengan baik. Tapi juga sebagian dari kami yang tak pernah melihat mukamu secara langsung. Kami sadar, sebagai bagian dari kami, kau adalah seseorang yang patut dibanggakan.
Pertama kali bertemu denganmu, saya melihatmu sebagai sosok yang keras tapi jujur, tegas tapi berhati baik. Kulitmu kehitaman, rambutmu gondrong sepunggung, dan kau tak henti-henti menghisap rokok. Perjumpaan itu kemudian diukir ke dalam sebuah proses yang mempertemukan kau dan aku sebagai “senior dan yunior”.
Sebagai seorang senior, kau tak bertemu denganku dalam proses yang “ramah”. Sebab memang momen saat kita bertemu memang bukan sebuah momen yang “ramah”, tapi momen yang keras tapi mengharukan, yang menyedihkan tapi bisa memancing tangis bahagia. Momen itu adalah momen Diklat Pecinta Alam. Sebuah momen yang dipenuhi dengan tekanan mental, cobaan fisik, dan kondisi alam yang jelas tak terkontrol. Kau hadir, di hadapan saya dan kawan-kawan, sebagai sosok senior yang “menyeramkan”. Suaramu keras, teriakanmu lantang, dan badanmu kekar. Agaknya, segala modal untuk disebut sebagai seorang pecinta alam telah kau miliki. Dan tebak apa yang kemudian terjadi ketika melihatmu pertama kali: campuran antara khawatir, gemetar, dan perasaan menebak-nebak apa yang akan kau perintahkan ke kami.
Tapi dalam momen itu juga, saya tahu bahwa kau bukan seseorang yang hanya punya “keras”. Kau juga punya senyum, juga keramahan yang meneduhkan hati seorang yunior. Saat saya lulus dari Diklat dan resmi jadi anggota, saya tahu kau adalah senior yang menghargai yuniornya yang mau bekerja keras. Kau tak banyak memprotes kebijakan yang diambil yuniormu. Sehingga, saya tahu kau bukan seorang yang otoriter.
Ketika kau diterima di Jejak Petualang, dan otomatis makin jarang menemui kami, kami tak menyesal. Kami bangga, ada seorang yang jadi bagian dari kami yang berhasil menembus lebatnya belantara hutan rimba di hampir seluruh Indonesia. Dalam tiap tahun Diklat organisasi kita, namamu terus disebut sebagai salah seorang alumni yang punya dedikasi tinggi. Saat itu, saya bangga bisa menerima didikan langsung darimu. Sebab banyak yunior saya yang tak pernah lagi bertemu muka denganmu.
Sampai kemudian tragedi yang memilukan itu terjadi: rombongan Jejak Petualang hilang di rimba raya Papua. Kami kemudian tahu, kau adalah bagian dari mereka yang perahunya terbalik dan tenggelam. Kami melihat fotomu di media massa. Kami mendengar tentangmu di televisi. Tapi bukan kebanggan lagi. Hanya sepotong kesedihan. Ketika beberapa orang dari rombongan Jejak Petualang ditemukan selamat, kami berharap banyak. Tapi kami kemudian tahu kalau kau bukan bagian dari mereka yang ditemukan selamat. Namun harapan masih ada saat itu, sebab banyak tim yang dikerahkan mencarimu.
Hingga beberapa hari yang lalu, beberapa bulan setelah kau hilang, kami tahu bahwa sulit memelihara harapan itu. Tapi ketika fisikmu mungkin tak lagi hidup, kami memilih menghidupkan bagian yang lain dari dirimu: nama dan semangatmu. Tanggal 14-18 Januari lalu, organisasi kita kembali mengadakan Diklat. Diklat tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kami tahu bahwa ada bagian dari diri kami yang tak jelas di mana berada. Ada sebuah kondisi di mana kami ingin memelihara harapan bahwa kau masih hidup tapi keinginan itu dilawan oleh kenyataan bahwa kau telah beberapa bulan hilang. Tapi kami tak pernah menyebutmu dengan sebutan “meninggal”. Sebab, kau memang tak pernah meninggal. Kami tetap menghidupkanmu di dada dan kenangan adik-adik kita yang tahun ini masuk menjadi bagian dari diri kita.
Bagaimanapun juga, meski fisikmu jauh, tapi ada bagian dari dirimu yang dekat dengan kami. Begitu dekat, sehingga adik-adik kita yang tahun ini resmi menjadi bagian organisasi kita, bisa merasakan kehadiranmu di tengah-tengah mereka. Kalau kami tak pernah bisa memelihara fisikmu, kami akan memilih memelihara nama dan semangatmu.
Sukoharjo, 19 Januari 2007
Haris Firdaus
Komentar