Momen Hening dan Kompleksitas Manusia
Di antara begitu banyak ketegangan dan amarah yang muncul dalam film A Separation karya Asghar Farhadi, terselip sejumlah keheningan yang sebagian berfungsi sebagai jeda, tapi sebagian lainnya mungkin merupakan kelanjutan dari amarah dan tegangan itu. Salah satu yang paling menggetarkan adalah ketika Nader (Peyman Moaadi) dan Simin (Leila Hatami), suami-istri yang sudah menikah 14 tahun, duduk di bangku yang berdekatan tapi terpisahkan oleh pintu kaca di kantor pengadilan agama, tempat mereka hendak mengurus perceraian.
Dalam adegan yang terjadi di bagian akhir film itu, Nader dan Simin sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing, meski kadang keduanya masih saling pandang. Kejadian itu berlangsung cukup lama, sekian menit saya kira, dan selama scene itu yang kita lihat hanyalah dua orang duduk berdekatan tapi terpisahkan—baik secara fisik maupun mental—plus suara teriakan dan tangis yang datang dari bagian lain kantor pengadilan agama itu.
Bagi saya pribadi, adegan itu merupakan simbol yang sangat baik tentang batas dan perpisahan yang menjadi bahasan utama A Separation. Dan, yang menarik, entah kenapa saya merasa batas itu tampak sangat jelas bukan saat amarah dan ketegangan sedang berkecamuk, tapi justru pada saat situasi hening. Mungkin karena dalam momen hening itu situasi seolah-olah menjadi normal kembali, meski kemudian kita tahu bahwa segalanya tak bisa wajar lagi, dan batas itu pun terlihat secara amat tegas.
Namun, A Separation pada akhirnya bukan hanya soal batas dan perpisahan. Diluncurkan pertama kali pada Februari tahun lalu di sebuah festival film internasional di Teheran, film itu dibicarakan banyak orang ketika meraih Academy Award dalam kategori film berbahasa asing terbaik tahun ini, menjadikannya sebagai film Iran pertama yang meraih penghargaan serupa. Di Indonesia, film ini sempat diputar di sejumlah bioskop meski sayang masa pemutarannya tak terlalu lama.
Saat saya menontonnya di sebuah bioskop di Jakarta beberapa pekan lalu, jumlah penontonnya sangat sedikit, cuma 4 orang. Tapi sejak lama kualitas film tidak ditentukan oleh jumlah penonton—apalagi jumlah penonton di Indonesia. Situs Rotten Tomatoes mencatat, dari ratusan kritik film di media barat, 99%-nya memberi penilaian positif untuk film ini. Film ini juga mendapat sambutan baik dari audience Rotten Tomatoes, karena 93% dari keseluruhan penilaian penonton yang masuk ke situs ini memberi nilai positif.
Sesungguhnya, A Separation memang film dengan kualitas bagus meski ia berpangkal dari cerita yang sebenarnya cukup sederhana: tentang sebuah keluarga kelas menengah di Iran yang harus menghadapi pelbagai problem dalam kehidupan mereka. Pada mulanya, perseteruan Nader dan Simin terjadi karena perbedaan sikap apakah mereka harus meninggalkan Iran atau tidak. Nader menolak pindah karena mesti merawat ayahnya yang menderita Alzheimer, sementara Simin ngotot ingin pergi ke negara lain.
Dalam konstruksi hukum Islam dan adat istiadat setempat yang patriarkis, posisi Simin sebenarnya lemah karena sebagai istri ia mesti menurut pada kehendak suaminya. Tapi, sejak awal, A Separation menggambarkan keluarga ini bukan sebagai keluarga yang terikat secara saklek dengan aturan agama dan adat. Karena itulah Simin akhirnya mengajukan cerai, dan untuk menunjukkan keseriusannya, ia kembali ke rumah orang tuanya. Anak mereka yang berusia 11 tahun, Termeh (Sarina Farhadi), memilih tinggal bersama sang ayah.
Sampai di sini cerita kelihatannya masih cukup sederhana, tapi ketika Nader mempekerjakan Razieh (Sareh Bayat), seorang perempuan yang sangat religius, untuk merawat ayahnya setiap hari, situasi mulai menjadi kompleks. Problem pertama yang terjadi begitu Razieh mulai bekerja sudah cukup rumit. Suatu saat, ketika ayah Nader buang air di celana, Razieh masuk ke dalam dilema yang hanya akan ditemui di suatu wilayah dengan hukum agama yang sangat kuat, yakni haruskah ia menggantikan celana ayah Nader?
Di sejumlah negara lain, termasuk Indonesia yang mayoritas muslim, problem macam itu tak akan menimbulkan dilema karena menggantikan celana seorang jompo pasti dianggap lebih penting dan mendesak daripada taklid buta pada hukum agama yang tak membolehkan lelaki dan perempuan yang bukan muhrim untuk bersentuhan. Tapi ketika situasi itu terjadi di Iran, ditambah ketaatan Razieh yang begitu dalam pada hukum agama yang dipercayainya, masalah itu tentu saja menjadi rumit.
Yang bagi saya mengesankan kemudian adalah bagaimana Razieh menyelesaikan masalah yang menimpanya itu. Dia menelepon seorang ustadz atau semacam itu, lalu berkonsultasi ihwal kondisinya. Ketika sang ustadz di seberang telepon tetap berpandangan bahwa Razieh tak boleh menggantikan celana ayah Nader, bahkan setelah “tawar-menawar” yang cukup lama, kita tahu dilema yang dihadapi Raizeh makin bertambah.
Situasi yang muncul dari “problem mengganti celana” ini, menurut saya, sangat khas: kerumitan itu sebenarnya bermula dari masalah kecil, tapi kemudian berkembang menjadi soal besar karena manusia-manusia yang terlibat di dalamnya ternyata begitu kompleks dan susah dipahami. Sepanjang pengamatan saya, situasi khas semacam ini muncul terus-menerus dalam A Separation, dan tepat karena itulah film ini menjadi sangat menarik.
Sebagian besar problem yang muncul dalam film ini, menurut saya, memang berkait dengan situasi khas tadi. Karenanya, yang menonjol dalam film ini bukan hanya masalah-masalah yang muncul menghinggapi keluarga Nader dan Simin, tapi juga kompleksitas pribadi-pribadi tersebut. Sutradara Ashgar Farhadi dengan luar biasa menampilkan sosok-sosok dengan karakter yang rumit, penuh ambiguitas, dan dalam beberapa momen, hampir tak bisa dipahami.
Mari mengambil misal dari salah satu konflik terbesar dalam film ini, yakni tuduhan bahwa Nader telah membuat Razieh keguguran. Kita tahu bahwa Nader memang mendorong Razieh supaya keluar dari rumahnya, dan karena itulah Razieh jatuh di tangga, tapi benarkah ia keguguran karena itu? Pertanyaan ini hampir tak terjawab di sepanjang film, kecuali di bagian akhir, saat pengakuan yang mengejutkan muncul dari Razieh. Tapi, apa yang membuat saya sangat tertarik bukanlah soal konflik itu, melainkan bagaimana manusia-manusia di sana menghadapinya.
Bersama suaminya yang pengangguran dan banyak hutang, Hodjat (Shahab Hosseini), Razieh melaporkan Nader ke polisi. Tapi laporan ini kemudian dibalas dengan laporan balik oleh Nader bahwa Razieh telah menyebabkan ayahnya yang jompo dan sakit-sakitan mengalami kecelakaan. Situasi menjadi rumit, baik di kubu Nader maupun Razieh.
Nader tahu bahwa ia tak bisa sepenuhnya dikatakan tak bersalah, tapi ia tak mau mengakuinya sampai secara hukum ia memang terbukti salah. Karena sikap inilah ia mesti bertengkar dengan Simin, tapi yang paling meremukkan hati sebenarnya adalah konfliknya dengan Termeh. Nader sangat mencintai putrinya itu dan demikian pula sebaliknya, tapi Termeh tahu bahwa ayahnya berbohong dan ia menggugat kebohongan itu, namun saat bersaksi di kepolisian, rasa cinta pada sang ayah toh membuatnya berbohong.
Di sisi lain, Hodjat disibukkan bukan hanya dengan masalah keguguran istrinya, tapi juga utang-utangnya yang bertumpuk. Ia mencintai istrinya, dan hal itulah yang terutama membuatnya menuntut Nader, tapi ia juga tak bisa mengelak dari sikap memanfaatkan keguguran istrinya itu untuk mendapatkan uang guna membayar utangnya.
Dengan konstruksi semacam itu, hampir tak ada pembagian peran sebagai protagonis dan antagonis dalam A Separation, dan karenanya film ini bisa disebut sebagai kisah yang sangat realis—sebab dalam kenyataan, bukankah sesungguhnya tak ada pembagian posisi semacam itu juga?
NB: foto diambil dari sini.
Komentar