Obasute
Di desa-desa miskin pada masa Jepang kuno, seorang nenek yang telah renta akan dianggap sebagai beban. Oleh karena itu, ada sebuah adat dalam masyarakat kala itu bahwa Baba (nenek yang sudah renta) harus dibuang ke gunung dengan tujuan menghemat persediaan makanan. Baba akan digendong oleh anaknya sendiri menuju gunung, untuk kemudian ditinggalkan di sana sendirian.
Tradisi yang disebut Obasute itu memang hanya terwariskan dalam wujud legenda Jepang kuno, tapi pengaruh kisah itu tak pernah hilang dalam masyarakat Jepang. Saya menonton kisah ini dalam rupa seni pertunjukan saat menyaksikan teater berjudul “Obasute” karya Hara Tomohiko, Minggu, 25 Juli lalu di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Awalnya, saya mengira “Obasute” akan dipentaskan dalam format Noh karena kisah Obasute, yang saya dengar, memang sering dipakai dalam pertunjukan Noh. Ternyata, Hara Tomohiko menggunakan fomat Kabuki—yang sudah biasa ia mainkan selama 30 tahun ini—untuk mementaskan kisah tersebut. Ia memakai sejumlah pemain Jepang dan Indonesia untuk mendukung pementasannya.
Hasil dari ramuan Tomohiko tidak terlalu bagus, malah cenderung mengecewakan menurut saya. Legenda Obasute sebenarnya merupakan kisah yang sangat bagus untuk dieksplorasi karena legenda itu mengandung sifat getir yang sangat dalam. Bukankah meninggalkan seorang nenek tua di gunung sendirian sebenarnya sama dengan pembunuhan yang kejam?
Dari pertanyaan itu saja, sebenarnya eksplorasi atas legenda tersebut bisa dikembangkan dan kemudian dilanjutkan dengan sejumlah pertanyaan lain. Bagaimana “tradisi membunuh” ini bisa terwariskan turun-temurun? Kenapa nenek-nenek tua yang dibuang itu menurut saja bahkan cenderung mendukung “pembunuhan” atasnya? Apa “hikmah” dari tradis ini sebenarnya?
Kisah Bunga Tsubaki dalam legenda ini juga menarik untuk dicermati. Menurut legenda Obasute, seorang Baba sudah tiba waktunya dibuang ke gunung jika Bunga Tsubaki—yang biasanya mekar tiap tahun di musim dingin—mekar di musim panas. Bagaimana mungkin mekarnya Bungsa Tsubaki yang berwarna merah dan berukuran besar itu bisa menjadi patokan membuang seorang Baba? Dan, apa arti Bunga Tsubaki dalam masyarakat Jepang kuno?
Sayangnya, Tomohiko terlihat tak tertarik menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia hanya mengisahkan saat-saat terakhir Baba sebelum ia ditinggalkan di gunung. Alkisah, Baba (diperankan sendiri oleh Tomohiko yang laki-laki) melatih cucu perempuannya (diperankan Ando Ayuko) untuk melakukan tarian yang disebut sebagai “tarian paling indah”.
Dengan pakaian berwarna emas dan memegang kipas, Baba mengajari cucunya itu menari di bawah pohon Bunga Tsubaki. Keduanya terlihat begitu gembira sampai kemudian tiba saat Baba menyampaikan bahwa ia harus pergi ke gunung. Sang cucu tentu saja merasa sedih mendengar kabar itu tapi mau bagaimana lagi: tradisi harus dijalankan. Maka, dengan digendong anak lelakinya yang bertubuh besar, Baba menuju gunung dan ditinggalkan sendirian.
Saat telah sampai di gunung, sang anak mencoba membujuk Baba agar mau tersenyum kembali sehingga pembuangannya itu bisa dibatalkan. Dalam legenda ini memang berlaku aturan: jika Baba masih bisa tersenyum kembali, maka dia tak jadi dibuang ke gunung. Saya tak tahu, kenapa Baba sangat susah tersenyum hari itu, sehingga akhirnya ia harus benar-benar ditinggalkan sendirian di gunung.
Penerimaaan Baba atas pembuangannya menunjukkan, sebuah tradisi akan selalu dipandang dari kaca mata yang positif oleh para pendukungnya. Bahkan jika tradisi tersebut mengandung semacam keburukan tertentu, orang-orang yang terikat pada kebudayaan itu akan selalu berusaha mengambil hikmah darinya.
Mereka yang hidup dan menghidupi adat-istiadat memang susah keluar dari cara berpikir kebiasaan itu sehingga tidak bisa mengambil posisi yang kritis. Baba ada dalam posisi itu sehingga ia tak memiliki cara pandang lain atas tradisi tersebut.
Meski seorang lelaki, Tomohiko bermain lumayan bagus sebagai seorang nenek renta yang pasrah dan terikat pada tradisi. Baba adalah sosok pendiam yang sangat misterius. Keyakinannnya bahwa ia harus dibuang ke gunung merupakan sebuah misteri yang tak terjawab, bahkan oleh anak dan cucunya sendiri.
Sebagai gadis 12 tahun yang periang, Ando Ayuko bermain cukup baik sebenarnya, meski aura kebahagiaan dan kesedihan yang dirasakannya tak cukup menjangkiti penonton. Akting paling jelek justru dilakukan pemeran anak Baba. Dia seorang mahasiswa IKJ yang saya lupa namanya, bertubuh besar dengan dada bidang dan lengan kekar. Entah bagaimana, mahasiswa IKJ ini bermain buruk, padahal dia punya peran penting dalam kisah ini.
Ratapan-ratapan yang dikeluarkannya saat membujuk Baba agar mau tersenyum sungguh lebay dan sinetron banget. Ditambah dialog-dialog yang disadur dengan jelek, adegan-adegan itu menjadi sangat membosankan. Harusnya, si mahasiswa ini tak sekadar meraung dan menangis, tapi juga mengontrol kesedihannya dengan cerdas. Kata-kata yang dikeluarkannya seharusnya juga diedit dulu, sehingga hasilnya tak menjadi klise.
Ditambah pencahayaan yang buruk, “Obasute” memang bukan merupakan pertunjukan yang bagus. Alurnya sangat biasa, akting sejumlah pemainnya pas-pasan, penataan panggunya terasa kurang pas, dan pesannya kurang dalam. Untungnya, iringan musik—yang dibawakan Chiku Toshiaki dan Owaki Kaoru—terdengar sangat bagus dan menyentuh.
Saya sangat menyukai corak vokal Chiku Toshiaki—yang hari itu ikut tampil di panggung dengan memakai kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit—yang terdengar sangat unik, melankolis, dan sedih. Meski tak mengerti bahasa Jepang, saya terhanyut oleh nyanyian Toshiaki. Syukurlah, masih ada yang bisa dinikmati dari pertunjukan ini.
Jakarta, 28 Juli 2010
Haris Firdaus
Foto oleh Setyo Andi Saputro
Chiku Toshiaki paling oye lah.. sementara anak IKJ itu? ahh.. no comment.. (toh sudah kau ‘bantai’ habis2an di sini.. ‘lebay dan sinetron banget’? :))
he2. bukankah kamu setuju dg penilaianku terhadap anak IKJ itu? he2.
sangat2 setuju..aktingnya masih ‘terlalu mentah’…
Cerita yang bagus gan, sekalian cerita tentang indonesia kuno tambah seru gan, salam kenal n kunjungan, bagi yg suka futsal silahkan berkunjung di blog saya, thanks.
kurang paham dengan teater tapi sangat suka dengan teater sma
“Obasute”, hmmm … sepertinya sebuah repertoar yang bagus juga, mas haris, sayangnya kok kurang didukung unsur2 dramaturgi yang oke punya, yak?
belum pernah nonton pertunjukan noh sih…
tapi apa pertunjukan klasik jepang juga minim backsound seperti di film2 nya. dengan mengandalkan suasana liris dan background, amat berkebalikan dengan seni pertunjukan indonesia yang backsoundnya cenderung ramai, apalagi sinetron..
tengok aja pada backsound sinetron..kalau mau ada suatu kejutan bisa ketebak dengan backsoundnya meski di ruang kamar mandi tidak menonton sinetron itu… 😀
http://atmokanjeng.wordpress.com/
elek. untung aku mlebu gratis diajak panitiane. wekekeke…
wah, beruntung kowe. aku bayar 50 ribu. ha3.
50 ewu & klesetan.. :))