Eksotika Timur yang Kumuh

You may also like...

21 Responses

  1. mungkin itu salah satu penyakit barat yang selalu menganggap timur ‘rendah’.. sementara penyakitnya ‘timur’, selalu menganggap barat ‘hebat’.. hueh..

  2. zen says:

    Gambaran India yang kumuh yo memang banyak amat sudut2 di India yang kumuh dan jembel, luwih jembel mbangane jakarta, taksi2 msh tua2 dan reyot. Teman saya seorang India yg bekerja sbg chef di salah satu resto di veteran, pernah bilang: jakarta jauh2 lebih rapi dari New Delhi. Kekerasan di India? Memang ngeri juga konflik Hindu dan Muslim, sampe obong2an sepur n mesjid barang je (dan ini justru tak banyak “diakui” dalam banyak film dr bollywood) .

    Lantas apa yang riil dari India? sebagai benua spiritualitas (yg justru jadi stereotipe yg umurnya jauh lbh panjang brabad2 lamanya)? Tapi kok kalau benua spiritualitas kenapa bs konflik sangat mengerikan begitu, sampe2 lahir dua negara lanjutan dari India (Pakistan n Bangladesh). Toh film2 Bollywood juga sudah sangat biasa penuh dg potret2 kekumuhan yg lebih memualkan secara visual bahkan (beda dg sinetron2 Indonesia yg bermewah dg gaya hidup, padahal sangat banyak kekumuhan dan kejembelan di jakarta).

    Kubayangkan, Boyle berharap bisa membuat versi lain yg lbh canggih dari City of God, tp yo rung tekan. hehehe…

    Satu yg kuacungi jempol, Boyle justru bisa lolos dari jebakan steretipe Barat yang menganggap India mutlak milik Hindu. Di Slumdog, tertera gambaran yang anti-stereotipe barat bahwa di India umat Islam tidaklah berjumlah kecil.

    Lantas, sekali lagi, apa yang sebenar-benarnya India? Ya ga ada jawabannya, apalagi kalau kita ingin jawaban yang sifatnya tunggal dan homofonik. Ya toh?

    Sebagai catatan, film ini diadaptasi dari novel “Q and A” karya Vikas Swarup, seorang diplomat yg bekerja utk Deplu India. Saya baca versi terjemahan novel itu, dan gambaran novelnya juga mengandung potret kekumuhan dan kekerasan. Lha njuk piye? Lah aku yo ra mudeng. hihihihi…

  3. haris says:

    @zen: masalahnya bukan hanya pada penggambaran India. tapi logika cerita yg menggunakan kuis who wants to be a milionaire itu sudah menunjukkan bahwa ada sudut pandang tinggi-rendah di sana. percakapan antara turis dg si jamal juga mendukung hal itu.

  4. zen says:

    Yang jadi bikin tidak sederhana adalah: kuis yang diangap olehmu sbg masalah itu justru sudah dihadirkan di naskah novel aslinya oleh si Vikas itu, seorang India dan Vikas bukan seorang India eksil macam Rushdie tapi diplomat Inggris, pendeknya karyawan plat merah negara India.

    😀

  5. haris says:

    he2, iya zen. oleh karena itu, dari awal aku bertanya2: apakah kuis tersebut mempunyai arti tertentu bagi masyarakat India? apakah tak berlebihan memakai sebuah kuis komersial utk jalan cerita sebuah kisah cinta? atau ini justru potret ironi cinta abad 21: bahwa cinta bisa sangat bergantung pada kapitalisme? xixixixi. 😀

  6. ardian eko says:

    Hmm.. aku belum selesai nonton filmnya mas.. Semua memiliki cara pandang yang berbeda untuk menilai. Mungkin itu untuk mengangkat realitas india yang belum maju.
    Ada juga kan film yang baru, 3 idiot atau my name is khan.. Ceritanya bagus juga

  7. zen says:

    sebuah review dari sudut pandang marxian memang lbh “cocok” ketimbang sudut pandang orientalism/oksidentalism utk film ini.

    😀

  8. zen says:

    Cinta bisa sangat bergantung pada kapitalisme? Pertanyaan menarik. Karena sekarang banyak yg berkirim pesan mesra pada kekasihnya bukan lewat merpati, tetapi melalui nokia, macbook atau speedy.

    😀

  9. helmy says:

    wah selamat, mas haris, tampilannya baru nih..sukses terus…

  10. helmy says:

    bar moco komen2 sedurunge dadi ngedumel dewe..opo maneh bab sing terakhir…cinta dan kapitalisme wah..wes marai munek..tenan..

  11. jun says:

    kalimat akhirnya, bener” ‘wow’!! apakah segitukah penilaian mereka?

    Saia belum liat SM, tapi pengen juga :)

  12. delia says:

    Salam kenal…
    sM adalah film india yg lain dr biasanya krn film yg lain justru seperti sinetron indonesia yg banyak menampilkan kekayaan dll…
    krn di sudut2 India aslinya emang kumuh banget :(

    SETUJU… begitulah cara pandang sebagian Barat terhadap kita yg dari timur..
    CMIIW

  13. wibisono says:

    kayaknya memang kondisi India di Film SLumdog millionare kayak kondisi yang ada di Indonesia. 😀

  14. Jidat says:

    Hem. . . . Brantas cinta! Brantas kaum kapitalisme!

  15. Asop says:

    Belum nonton sih… tapi dari judulnya aja udah “slumdog”… gimanaaaa gitu.. :(

  16. Hal sama menjangkiti film-film perang Hollywood. Selalu menampilkan heroisme negara adikuasa itu. Negara-negara sebagai medan pertempuran yang layak ditolong. Termasuk dalam film “Green Zone.” Meski film ini mencoba menelanjangi borok-borok politik pemimpin Amerika saat itu tentang senjata pemusnah massal di Irak, film besutan Paul Greengrass ini tetap saja menampilkan heroisme AS dalam ikon agen Miller itu. Sepertinya sudah saatnya terjadi arus balik dengan spirit sebaliknya, oksidentalisme. Sepertinya…:)

  17. didik says:

    betul betul betul, saya setuju dengan coment pertama Zen,bahwa kita blm tahu sendiri ttg keadaan India spt apa,kecuali testimoni dari orang yg pernah ke sana……

    tp kritis itu gpp kok…

    kata temenku,film ini dapat penghargaan karena ada unsur “kekerasan” yg dilakukan oleh moslem india

  18. rodes says:

    salam kenal..film ini sangat inspiratif…

  19. h3ri says:

    belum pernah nonton sih, tapi sepertinya bagus berdasarkan tulisan anda

  20. tengkuputeh says:

    Kita hidup di dunia yang tak sempurna, di mana walaupun penjajahan telah lama tiada, warisannya masih tetap ada.

Leave a Reply to Jidat Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>